Saturday, November 28, 2015

Tertipu Sandal Ajaib


Kampung tempat tinggal Abu Nawas lama kelamaan membuatnya merasa tak nyaman karena saking banyaknya umat Islam yang menumpuk-numpuk harta dengan menghalalkan segala cara. Otomatis hal ini membuat Abu Nawas gusar, karena sebagai seorang ulama, Abu Nawas berfikir bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran islam.

Untuk menghentikan perbuatan buruk tersebut, Abu Nawas memutar otak mencari ide yang tepat untuk menyadarkan banyak orang.
Setelah berpikir panjang, akhirnya ia menemukan ide cemerlang yaitu ide sandal ajaib. Dengan mengambil peralatan sederhana, berangkatlah ia ke pasar untuk gelar tikar menjual sandal-sandal.

"Sandal ajaib...sandal ajaib....sandal ajaib," kata Abu Nawas berkali-kali di pasar.
Sesaat kemudian muncullah salah seorang pemuda yang melihat-lihat barang dagangannya.
"Silahkan Tuan, mau mencari apa?" tanya Abu Nawas.
"Saya ingin mencari sandal yang bisa merubah hidupku yang miskin ini," jawab pemuda itu.
"Apa maksud Tuan?" tanya Abu Nawas lagi.
"Saya ini sudah lama hidup miskin dan ingin sekali kaya raya. Saya ingin membeli barang yang bisa memberikan saya keberuntungan," kata pemuda itu.

Sejurus kemudian Abu Nawas menunjukkan salah satu sandal ajaibnya. Ia mengatakan bahwa sandal itu akan membikin penggunanya dari tak punya menjadi orang yang punya. Karena tertarik, pembeli itu akhirnya jadi juga membeli sandal ajaib itu dengan harga yang lumayan mahal.

Si pemuda langsung saja memakai sandal ajaib itu berkeliling kampung dengan harapan semoga keberuntungan segera berpihak kepadanya. Akan tetapi, harapannya tak kunjung terwujud. Jangankan keberuntungan, si pemuda malah dikira pencuri di kampung tersebut. Untung saja para warga tak sampai menghakiminya.

Karena merasa tertipu, pemuda itu kembali lagi menemui Abu Nawas untuk protes.
"Assalamu'alaikum..." sapa pemuda itu.
"Wa'alaikum salam..., eh ternyata Tuan, bagaimana kabar Tuan?" tanya Abu Nawas.
"Kabar jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan gara-gara sandal ini. Padahal dulu engkau mengatakan kalau sandal ini bisa mendatangkan keberuntungan, bisa menjadi kaya dan terkenal, tapi mana buktinya?" protes si pembeli.

"Seingat saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu Tuan?" sergah Abu Nawas.
"Saya hanya mengatakan bahwa bila Tuan pada mulanya orang yang tidak punya, maka dengan membeli sandal ini Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang Tuan sudah memiliki sandal ajaib ini," kata Abu Nawas.

Begitu mendengar penuturan Abu Nawas, pemuda itu hanya bisa diam, ia menyadari bahwa dirinya sedang salah tafsir.
"Lalu mengapa engkau mengatakan bahwa sandal ini ajaib?" tanya pembeli.
"Karena merk sandal ini adalah ajaib, sandal ajaib," jawab Abu Nawas.

Akhirnya pemuda itu pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.
"Tunggu Tuan, saya ingin mengatakan sesuatu kepada Tuan. Mungkin saja akan ada manfaatnya," kata Abu Nawas.
"Jangan percaya kepada barang ajaib, karena percaya pada sesuatu selain Allah SWT bisa membuat kita syirik dan akan mendapatkan kesusahan di dunia dan akhirat kelak. Buktinya sebagaimana yang Tuan alami ini, oleh karena itu, segeralah bertobat kepada Allah SWT," kata Abu Nawas.

Mendengar penuturan Abu Nawas, sepertinya pemuda itu menyadari kesalahannya. Ternyata banyak sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Allah SWT. Mulai saat itulah ia bertobat kepada Allah SWT.
readmore »»  

Friday, November 27, 2015

Terima Hadiah usai Menghina Raja


Konon di jaman Raja Harun Al-Rasyid sebelum ada yang namanya toilet, yang ada hanya sungai untuk buang hajat.

Suatu ketika Sang Raja merasa perutnya sedang sakit dan sudah tidak bisa lagi untuk di ajak kompromi.
Seketika itu juga Raja meminta para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.

Kebetulan sungai di situ mengalir ke arah selatan.
Sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat, jika sang Raja sedang buang hajat di sungai, maka rakyat di larang keras buang hajat di sebelah utaranya Raja, karena dikhawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang Raja.
Bagi yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang Raja.

Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di gubris oleh Abu Nawas.
Abu Nawas dengan santainya juga ikut buang hajat di sebelah utara agak jauh dari sang Raja.

Di saat asyik buang hajat, tiba-tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat Raja.
Tanpa berpikir panjang, benda tersebut langsung di pegang dan di lihat oleh sang Raja.
Dan alangkah kagetnya ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia.

Kontan saja hal itu membuat Sang Raja naik pitam, dan seketika itu juga Raja menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di belahan utara dan menangkap orang yang buang hajat.
Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi Sang Raja terlihat sosok Abu Nawas sedang buang hajat dengan santainya.

Saat itu juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya ke hadapan Raja untuk di hukum.
Ketika di hadapan Raja, Abu Nawas memprotes pada Raja kenapa dia ditangkap dan akan di hukum.
Raja pun menjawab bahwa perbuatan Abu Nawas itu telah melecehkan privasinya dan menginjak-injak harga dirinya sebagai Raja.

"Kamu memang tidak punya tata krama, berani-beraninya kamu buang hajat di sebelah utaraku sehingga kotoranmu mengenai badanku.
Kini kamu harus menerima hukuman dariku," bentak Sang Raja.
"Ma'af, tunggu sebentar wahai Raja," sela Abu Nawas.
"Ada apa? kali ini tidak ada lagi ampunan bagimu Abu Nawas," sahut Sang Raja geram.
"Tunggu sebentar, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya. Saya melakukan itu semua karena saya sangat menghargai Engkau wahai Raja," kata Abu Nawas.

Mendengar hal itu, Raja Harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang disampaikan oleh Abu Nawas.

"Perbuatan seperti itu kamu bilang malah menghormati aku?" tanya Raja keheranan.
"Begini Raja, selama ini jika Raja tengah mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal, tidak ada satu pun dari rakyat atau pengawal yang berani mendahului jalannya Raja.
Begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan Raja, posisi ketika berjalan tidak berani mendahului Raja.
Itu saya lakukan karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada Raja," bela Abu Nawas.
"Ya bagus, tapi apa hubungannya dengan perbuatanmu sekarang ini?" tanya Raja.
"Begini Raja, saya menghormati engkau tidak setenga-setengah. Ketika saya buang hajat, saya memilih di sebelah utara Raja dan hal ini saya lakukan karena saya khawatir jika di sebelah selatan Raja, maka nanti kotoran saya tidak sopan kepada kotoran Raja karena sudah berani berjalan mendahului kotoran Raja.
Ini semua saya lakukan demi tata krama saya kepada kotoran Raja," jelas Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas, Raja pun tersenyum
Dia tidak jadi marah dan menghukum Abu Nawas, tetapi Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal.
readmore »»  

Thursday, November 26, 2015

Taruhan yang berbahaya


Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh kawan-kawannya sudah berada di situ. Mereka memang sengaja sedang menunggu Abu Nawas.

"Nah ini Abu Nawas datang." kata salah seorang dari mereka.
"Ada apa?" kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.
"Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap yang dirancang Baginda Raja Harun Al Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum Baginda Raja bila engkau berani melakukannya." kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.
"Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti kecuali kepada Allah Swt." kata Abu Nawas menentang.
"Selama ini belum pernah ada seorang pun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?" tanya kawan Abu Nawas.
"Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat hukumannya pasti dipancung." kata Abu Nawas memberitahu.
"Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?"
"Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah Swt. saja. Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?" Abu Nawas ganti bertanya.
"Seratus keping uang emas. Disamping itu Baginda harus tertawa tatkala engkau pantati." kata mereka.
Abu Nawas pulang setelah menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu.

Kawan-kawan Abu Nawas tidak yakin Abu Nawas sanggup membuat Baginda Raja tertawa apalagi ketika dipantati. Kayaknya kali ini Abu Nawas harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.

Minggu depan Baginda Raja Harun Al Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan. Para menteri, pegawai istana dan orang-orang dekat Baginda diundang, termasuk Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka tak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.

Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja menginginkan perjamuan nanti meriah karena Baginda juga mengundang raja raja dari negeri sahabat.

Ketika hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun temyata mereka keliru.
Abu Nawas bukannya tidak datang tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk di tempat yang paling belakang.

Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Dan tibalah giliran Baginda Raja Harun Al Rasyid menyampaikan pidatonya. Seusai menyampaikan pidato Baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian di tempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran Baginda bertanya, "Mengapa engkau tidak duduk di atas karpet?"

"Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kasih atas perhatian Baginda. Hamba sudah merasa cukup bahagia duduk di sini." kata Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaianmu kotor karena duduk di atas tanah." Baginda Raja menyarankan.
"Ampun Tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet."
Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena Baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk di atas lantai. "Karpet yang mana yang engkau maksudkan wahai Abu Nawas?" tanya Baginda masih bingung.
"Karpet hamba sendiri Tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke manapun hamba pergi." Kata Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri.
"Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa." kata Baginda Raja bertambah bingung.
"Baiklah Baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan menunjukkan kepada Paduka yang mulia." kata Abu Nawas sambil beringsut-ringsut ke depan. Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan di bagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-olah memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel di pantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para undangan.

Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum.
Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.
readmore »»  

Wednesday, November 25, 2015

Siapa Abu Nawas


Siapa sebenarnya Abu Nawas.
Abu Nawas memang pernah hidup di dunia ini, namun entahlah kalau style humor dan cerita kecerdikan yang Beliau lakukan.
Hingga saat ini Kisah Abu Nawas memang tak ada matinya.
Banyak penulis yang menceritakan dongeng baru mengenai Abu Nawas secara Islami.

Yang jelas, kita ambil segala sesuatu yang baik untuk kita jadikan teladan dan yang buruk kita buang jauh-jauh tentang cerita Abu Nawas ini.
Abu Nawas ini adalah orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 Masehi di Ahwaz.
Beliau meninggal dunia pada tahun 819 Masehi di kota Baghdad.
Setelah dewasa ia belajar ilmu agama, bahasa Arab dan bergaul dengan orang Badui padang pasir.

Karena pergaulannya itu, ia pandai berbahasa Arab dan adat istiadat serta kegemaran orang Arab.
Ia juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi.
Ia sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama Ayahandanya dan keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid, Raja Baghdad pada saat itu.

Bapaknya Abu Nawas, bernama Maulana, bekerja di kerajaan Baghdad sebagai Kadi.
Kadi Maulana panggilan ayahandanya.
Memang kedua tokoh ini tak bisa dipisahkan karena selalu saja menarik untuk disimak kisah-kisah nya yang menghibur hati.

Itulah sekelumit tentang siapa Abunawas sebenarnya.
Tentang cerita, kisah, dongeng yang terbaca disini bukanlah kisah yang sebenarnya, walaupun mungkin ada yang mirip dengan kejadian yang asli dialami oleh Abu Nawas sendiri.
Mari kita ambil hikmahnya saja akan lebih baik untuk kita semua daripada mencari kambing hitam.
Maaf untuk semua bilamana ada kesalahan.

Wallohu A'lam...
readmore »»  

Tuesday, November 24, 2015

Selamatkan Raja dengan Sorban Usang


Pada suatu hari di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Harun Ar-Rasyid telah terjadi huru hara. Rakyatnya tidak lagi mendapat ketenangan seperti biasanya karena telah terjadi penculikan dan pembunuhan yang misterius.

Raja dan para prajuritnya akhirnya mengetahui bahwa huru-hara tersebut bukan datang dari musuh, namun dari dalam istana sendiri yang diotaki oleh para menterinya.
Namun, raja sangat kesulitan untuk mencari siapa yang bersekongkol terhadap tindakan penculikan dan pembunuhan tersebut karena dia melihat bahwa para menterinya semuanya taat kepadanya.

Dari itu, dipanggillah Abu Nawas yang dikenal memiliki otak yang cerdas.
"Akhir-akhir ini aku gelisah, seolah ada seseorang yang hendak mengkudeta kerajaanku. Apa ada yang salah dengan kepemimpinanku?" tanya raja kepada Abu Nawas.
"Ampun beribu ampun baginda, apa yang bisa hamba lakukan untuk membantu?" tanya Abu Nawas.
"Begini wahai Abu Nawas, berilah cara kepadaku untuk menguji kesetiaan para menteriku," kata raja dengan iming-iming hadiah.
"Baiklah paduka, berilah hamba waktu sehari saja agar bisa memikirkan caranya," ujar Abunawas sambil beranjak meninggalkan rajanya.

Setibanya di rumah, Abu Nawas berpikir keras untuk menemukan cara yang terbaik dan jitu. Karena kelelahan, Abu Nawas akhirnya tertidur dengan lelapnya.

Pada keesokan harinya ketika ia hendak shalat subuh, ia menemukan sorban yang berbau tidak sedap. Sorban itu memang telah lama tidak dicuci oleh istrinya. Dari situlah Abunawas menemukan cara jitu untuk menguji kesetiaan para menteri kerajaan.
Setelah shalat subuh, Abu Nawas segera bergegas menuju istana kerajaan untuk menghadap Raja Harun Ar-Rasyid.
Abu Nawas meminta raja untuk bersandiwara seolah telah memiliki sorban sakti.
Raja Harun setuju dan melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Abu Nawas.

Setelah itu, maka dikumpulkanlah kelima menterinya untuk menghadap.
Di hadapan para menteri itu, raja mengatakan bahwa ia telah mendapat hadiah berupa sorban sakti hasil pemberian dari kerajaan lain. Dan salah satu kesaktian sorban itu adalah bisa menentukan masa depan kerajaan di masa yang akan datang.

"Wahai para menteriku, bantulah aku untuk menentukan masa depan negeri ini," titah raja.
"Bagaimana caranya wahai Baginda?" tanya salah seorang menteri.
"Masing-masing dari kalian, coba ciumlah sorban hadiah ini secara bergantian. Apabila berbau wangi, maka kerajaan ini akan abadi. Namun, bila baunya busuk, maka kerajaan ini tidak akan lama lagi akan segera runtuh," jelas raja.

Sesuai dengan perintah raja, para menteri satu persatu memasuki ruangan untuk mencium sorban sakti tersebut. Setelah semuanya telah mendapatkan giliran, maka dikumpulkanlah lagi menteri-menterinya.

"Bagaimana baunya," tanya raja.
"Sorban ini baunya sangat harum, niscaya kerajaan ini akan abadi," jawab menteri pertama. Menteri kedua dan ketiga menjawab sama dengan menteri pertama. Intinya adalah mereka berusaha untuk membuat rajanya senang.

Giliran menteri keempat dan kelima angkat bicara.
Di luar dugaan, menteri keempat dan kelima ini mengatakan bahwa sorban sakti tersebut baunya busuk dan menyengat hidung.
Mendengar penyataan menteri keempat dan kelima itu, raja akhirnya membuka rahasia bahwa sorban yang dikiranya sakti tersebut adalah milik Abunawas yang sudah usang dan tidak dicuci lama sekali.

Bergetarlah badan dari menteri pertama, kedua dan ketiga.
"Kini aku tahu siapa diantara kalian yang telah berkhianat kepadaku. Kalian telah terbukti berbohong dan kalian pantas untuk masuk penjara," ujar raja Harun.
Menteri pertama, kedua dan ketiga segera ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.

Kepada menteri keempat dan kelima, Raja Harun memberikan hadiah kepada mereka karena kesetiaan yang telah diberikan. Tak lupa juga, Abu Nawas mendapat bagian hadiah yang telah dijanjikan oleh Raja Harun kemarin hari.
readmore »»  

Monday, November 23, 2015

Rumah dijadikan Kandang Hewan


Pada suatu hari ketika akan pergi ke istana, Abu Nawas kedatangan tamu yang tidak dikenalnya.
Namun bagi Abu Nawas hal itu bukan alasan untuk tidak menolong.
Memang setelah namanya tersohor menjadi penasihat yang ulung, banyak tamu asing yang ke rumahnya untuk meminta saran.

"Cobalah utarakan kesulitanmu padaku, mungkin aku bisa membantu," kata Abu Nawas.
"Tolonglah aku, rumahku teramat sempit dan tidak bahagia," kata orang asing itu.
"Siapa saja yang tinggal di rumah itu?" tanya balik Abu Nawas.
"Seorang istri dan delapan anak-anakku, wahai Abu Nawas," jawab orang asing itu.

Orang asing itu terlihat sangat tertekan dengan kondisi rumahnya.
Wajahnya nampak lesu dan gelisah.
Ironisnya, semangatnya untuk bekerja meredup seiring tekanan itu.

Sementara itu, Abu Nawas memutar otak untuk mengatasi permasalahan orang asing tersebut.
"Pantas saja rumahnya sesak, anaknya saja delapan orang," kata Abu Nawas dalam hati.
"Engkau punya seekor domba?" kata Abu Nawas memecah kesunyian.
"Tidak, tetapi aku mampu membelinya," jawab orang asing itu.
"Kalau begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu," jelas Abu Nawas.

Orang asing itu tidak membantah, ia langsung membeli seekor domba seperti yang disarankan oleh Abu Nawas.
Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas.

Wahai Abu Nawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku bertambah sesak," kata orang asing itu.
"Kalau begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di dalam rumahmu," kata Abu Nawas lagi.

Orang itu juga tidak menolak, ia langsung membeli beberapa ekor unggas yang kemudian dimasukkan ke dalam rumahnya.
Namun, setiap kali lapor kepada Abu Nawas, ia justru disuruh untuk banyak menumpuk ternak dalam rumahnya.

"Apakah tidak salah saran Abu Nawas, dengan anak-anakku saja rumahku sempit, apalagi ditambah dengan ternak-ternak itu?" tanya orang itu dalam hati.
Namun karena tidak tahan dengan suasana rumah yang semakin sempit, orang itu datang lagi ke rumah Abu Nawas.

"Baiklah, kalau sudah merasa tidak tahan, juallah domba itu," kata Abu Nawas.
Orang itu tidak membantah, Ia langsung menjual domba yang baru dibelinya.
Beberapa hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu dan menanyakan perkembangannya.

"Keadaanya sekarang lebih baik karena domba itu sudah tidak lagi tinggal di sini," kata orang itu tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu sekarang juallah semua ternakmu," kata Abu Nawas.

Orang itu tidak melawan. Ia langsung menjual semua ternaknya dan beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu kembali.

"Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang?" tanya Abu Nawas.
"Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena ternak-ternak itu sudah tidak lagi tinggal bersama kami.
Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu dan kami mengucapkan terima kasih," kata orang tiu dengan wajah berseri-seri.

Abu Nawas ikut senang dengan keberhasilan orang itu.
Ia lalu menjelaskan bahwa sebenarnya batas sempit dan luas itu hanya tertancap dalam pikiran seseorang.
Kalau ia selalu bersyukur atas nikmat dari Allah SWt, maka Allah akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiran hamba-Nya.
readmore »»  

Sunday, November 22, 2015

Pintu Akhirat


Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.

Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu.

"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilingi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?"

Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking indahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.

Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil.
"Aku menginginkan engkau sekarang juga Berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu.
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu syarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan syarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti.
"Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam Akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat terlebih dahulu."

Mendengar penjelasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabannya.
readmore »»  

Saturday, November 21, 2015

Petugas Pajak


Pada suatu waktu, kerajaan mengalami krisis ekonomi yang buruk, karena pendapatan kerajaan yang berasal dari pajak tidak mampu memenuhi target yang telah ditetapkan oleh Raja.
Akibatnya banyak fasilitas umum dan bangunan kerajaan rusak tak ada biaya untuk memperbaikinya.

Kondisi kerajaan yang krisis ini membuat Raja geram, karena bagaimana tidak, kerajaan telah beberapa kali memenangkan peperangan dan memiliki wilayah makin luas akan tetapi krisis malah muncul dari pajak.
Akhirnya diadakanlah pertemuan, dimana semua punggawa kerajaan hadir dengan membawa berbagai kertas laporan sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Bahkan ada yang kertas laporannya berserakan di lantai juga.

"Bagaimana mungkin kerajaanku ini memiliki infrastruktur yang rusak cukup parah, kenapa hasil pertanian sangat menurun, padahal tanah disini cukup subur untuk bercocok tanam," semprot Sang Raja.

Semua terdiam oleh bentakan Raja tersebut.
Pejabat yang hadir tak mampu menjawab pertanyaan sang raja dan hanya meyerahkan setumpuk laporan kerja.
Karena marah, raja pun akhirnya merobek-robek kertas laporan yang diajukan oleh punggawanya tersebut, malah ada yang disuruh untuk memakan kertas itu.

Abu Nawas yang juga hadir dalam pertemuan tersebut juga tak mampu berbuat banyak oleh bentakan sang raja.
Namun, sesaat kemudian sang raja memerintahkan Abu Nawas yang telah dipercayanya untuk menggantikan para petugas pajak untuk menghitung penerimaan pajak kerajaan.
Dalam kondisi tertekan, akhirnya Abu Nawas pun memenuhi perintah Baginda Raja.

Semua punggawa lain terheran-heran dengan ulah Abu Nawas ini, bagaimana tidak, semuanya sangat tertekan, Abu Nawas malah membawa sepotong roti ke hadapan Baginda Raja.
"Apakah dirimu akan menyuapku dengan roti itu, wahai Abu Nawas," bentak Sang Raja.
"Bukan begitu Paduka Raja yang mulia, laporan keuangan yang saya kerjakan semuanya tercatat pada roti ini," jawab Abu Nawas enteng.
"Apakah maksudmu, kau jangan mencoba berpura-pura gila dihadapanku," bentak Baginda Raja dengan kesal.
"Paduka, usiaku sudah cukup lanjut, aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan yang nantinya Anda sobek dan menyuruhku untuk memakannya. jadi semua laporan keuangannya aku pindahkan pada roti ini," jawab Abu Nawas.

Sebuah teguran yang sangat halus dari Abu Nawas agar Baginda Raja lebih bijaksana dalam memimpin kerajaan.
Sejak saat itu pula, Baginda Raja tersadar bahwa tindakannya tidak benar dan sangat keterlaluan, karena harus menyuruh memakan kertas laporan dari pejabat-pejabatnya.
Bersama dengan para cendekiawan kerajaan lain, akhirnya Raja merumuskan perundang-undangan perpajakan yang lebih memihak kepada rakyat.
readmore »»  

Friday, November 20, 2015

Pesan bagi Para Hakim


Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.
Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tata acara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya.
Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.
Namun... demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.
Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita. Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir utusan Sultan.
"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya." jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.
"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu!"
"Hai wazir! kau jangan banyak bicara. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar!" kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.
"Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir.
"Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.
"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.
"Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu." sergah Abu Nawas
sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid. Dengan geram Sultan berkata,
"Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa."

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.
Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

"Abu Nawas bersikaplah sopan! " tegur Baginda.
"Ya Baginda, tahukah Anda....?"
"Apa Abu Nawas...?"
"Baginda... terasi itu asalnya dari udang!"
"Kurang Ajar kau menghinaku Nawas!"
"Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"
Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar. Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

"Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"
"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada saya tadi?"
"lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"
"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"
"Wah, ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda."

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit -jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya. Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.

"Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohon keadilan dari Tuanku Baginda."

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya.

"Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?"
Berkata Abu Nawas, "Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu."
"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya Baginda.
"Tuanku," kata Abu Nawas. "Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."

"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Benar Tuanku," jawab penunggu pintu gerbang. "Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."
"Hahahahaha!! Dasar tukang peras, sekarang kena batunya kau!"sahut Baginda. "Abu Nawas tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan menghukum kamu! "
"Ampun Tuanku," sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.
Abu Nawas berkata, "Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk keluarga hamba."

Sejenak Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."

Baginda kemudian memerintahkan Bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.
Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan. Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.

"Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"
Wazir atau perdana menteri berkata, "Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. "Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."

"Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja."

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
Konon dalam suatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi. Maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.
Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.

"Alhamdulillah...aku telah terlepas dari balak yang mengerikan. Tapi...sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja."

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:

Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.
Berkata bapaknya, "Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku."
Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

"Bagaimana anakku? Sudah kau cium?"
"Benar Bapak!"
"Ceritakanlah dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini."
"Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"
"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"
"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."

Berkata Syeikh Maulana "Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buat lah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi."

Nan, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara.

Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
readmore »»  

Thursday, November 19, 2015

Panah pembawa Rejeki


Suatu ketika Abu Nawas diundang oleh Raja Harun Ar-Rasyid untuk makan bersama. Maka berangkatlah para pengawal kerajaan untuk menjemput Abu Nawas di rumahnya. Tak berapa lama kemudian Abu Nawas telah sampai di istana dengan pakaian sederhana saja.
Abu Nawas langsung diajak berbincang di sebuah pendapa dengan berbagai jamuan makanan lengkap dengan minuman yang segar.

Melihat begitu banyaknya makanan, Abu Nawas pun sangat lahap menyantap makanan yang dihidangkan kepadanya. Sementara itu, raja masih meneruskan perbincangannya dengan Abu Nawas tentang kekuasaannya.

Raja Harun bercerita kepada Abu Nawas terkait dengan luasnya wilayah yang telah dipimpinnya. Namun Abu Nawas nampak tidak menggubris malah dia sibuk dengan makanan yang tersaji di hadapannya.
Tak Lama kemudian, raja mulai melontarkan berbagai pertanyaan kepada Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas, kalau setiap benda ada harganya, berapakah harga diriku ini?" tanya raja.
Abu Nawas yang masih dalam kondisi kekenyangan setelah makan makan, menjawab sekenanya tanpa berpikir panjang.
"Hamba kira, mungkin sekitar 100 dirham saja Paduka," jawab Abu Nawas.
"Terlalu sekali engkau Abu Nawas, harga sabukku saja 100 dirham," bentak raja.
"Tepat sekali Paduka, memang yang saya nilai dari diri Paduka hanya sebatas sabuk itu saja," ujar Abu Nawas.

Karena merasa tak ingin dipermalukan oleh Abu Nawas karena kecerdikannya, kali ini raja tidak mau lagi mengambil resiko dengan beradu pendapat lagi.
Oleh karena itu, Abu Nawas diajak menuju ke tengah-tengah prajuritnya yang merupakan ahli beladiri dan ketangkasan.

"Ayo Abu Nawas, di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuan memanahmu. Panahlah sekali ini saja, kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah akan menantimu. Tapi kalau gagal, engkau akan aku penjara," kata raja.

Abu Nawas pun bergegas mengambil busur dan anak panah. Dengan memantapkan hati, Abu Nawas membidik sasaran dan mulai memanah. Namun panahnya meleset dari sasaran.
"Dari pengamatan saya, ini adalah gaya memanah para makelar tanah," ujar Abu Nawas untuk menutupi kelemahannya.

Sesaat kemudian, Abu Nawas mencabut sebuah anak panah lagi dan membidik sasaran. Lagi-lagi anak panah yang dibidikkan itu melesat terlalu jauh dari sasaran.
"Kalau yang ini Paduka, ini gaya Juragan Buah kalau sedang memanah," sahut Abu Nawas untuk menutupi kelemahannya yang kedua.

Untuk yang ketiga kalinya, Abu Nawas kembali mencabut anak panah dan mulai membidiknya. Namu kali ini kebetulan anak panah yang dibidikkan tersebut mengenai sasaran.
"Nah yang ini Paduka, ini baru gaya Abu Nawas kalau sedang memanah, saya pun menunggu hadiah yang Paduka janjikan," kata Abu Nawas dengan gembira.

Dengan tak bisa menyembunyikan tawanya, Paduka Raja lantas memberikan hadiah kepada Abu Nawas.
Dengan kecerdikannya bermain kata-kata yang masuk logika akhirnya Abu Nawas mendapat hadiah, dia pun langsung mohon diri karena tak sabar untuk memberikan hadiah itu kepada istrinya.
readmore »»  

Wednesday, November 18, 2015

Nyanyian Abu Nawas di Kuburan


Pada suatu ketika ada seseorang yang sedang berjalan-jalan, dan setelah sampai di jalan sekitar makam, dirinya melihat Abu Nawas sedang berada di sebuah kuburan. Orang itu kemudian mendekatinya. Di sana ternyata Abu Nawas sedang menggantungkan kakinya di sebuah nisan kuburan.

"Wahai Abu Nawas, apa yang engkau lakukan di sini?" tanya orang itu.
"Aku sedang bercengkerama dengan suatu kaum yang tidak pernah menyakitiku, dan apabila aku telah tiada, mereka tidak menggunjingku," jawab Abu Nawas.

"Harga-harga sandang pangan papan mulai naik, tidakkah engkau mau ikut berdoa kepada Allah SWT, agar harga-harga bisa terkendali?" kata orang itu.
"Demi Allah, aku tidak mau peduli meskipun dibayar satu dirham sekalipun. Sesungguhnya Allah telah meminta kita untuk menyembah-Nya sebagaimana perintah-Nya dan Allah memberikan rezeki kepada kita sebagaimana yang telah dijanjikan."

Abu Nawas kemudian bertepuk tangan dan bernyanyi,
"Wahai penikmat dunia dan perhiasannya.
Kedua matanya tak pernah tidur dari kelezatannya.
Kau hanya sibuk dengan apa yang tak teraih."
Apa yang hendak dikata ketika berjumpa dengan-Nya?
readmore »»  

Tuesday, November 17, 2015

Nasehat Abu Nawas kepada Raja


Suatu saat Raja Harun Ar-Rasyid menunaikan ibadah haji.
Ketika sampai di pusat kota Kuffah, tiba-tiba terlihat olehnya Abu Nawas sedang menaiki sebatang kayu berlarian ke sana kemari dan diikuti anak-anak dengan riangnya.
Wajah sang Raja mendadak menjadi sumringah dibuatnya. Matanya berbinar-binar karena begitu merindukan sosok Abu Nawas. Memang Abu Nawas sejak beberapa bulan terakhir meninggalkan kerajaannya sebagai bentuk protes atas ketidakadilan dan kesombongannya.

Sejak kepergian Abu Nawas itulah raja seperti mengalami kesepian. Tidak ada lagi orang yang diajaknya berdiskusi maupun hanya sekedar bercanda. Karena itu Raja sangat gembira begitu melihat sosok Abu Nawas.

Karena sangat penasaran, Raja Harun Ar-Rasyid kemudian bertanya kepada para pengawalnya.
"Siapa dia?" tanya Raja.
"Dia si Abu Nawas yang gila itu," jawab salah seorang pengawalnya.
"Coba panggil dia kemari, tanpa ada yang tahu, dan sekali lagi aku peringatkan kamu jangan berkata yang buruk lagi tentang dia, perintah Raja Harun.
"Baiklah wahai Rajaku," jawab pengawal.

Tidak berapa lama kemudian para pengawal berhasil membawa Abu Nawas ke hadapan Raja. Abu Nawas diperkenankan duduk di hadapan Raja.
"Salam bagimu wahai Abu Nawas," sapa Raja Harun Ar-Rasyid.
"Salam kembali wahai Amirul Mukminin," jawab Abu Nawas.
"Kami merindukanmu wahai Abu Nawas," kata Raja Harun Ar Rasyid.
"Ya, tetapi aku tidak merindukan Anda semuanya," jawab Abu Nawas dengan ketus.

Beberapa pengawal kerajaan spontan saja akan mencabut pedang dari sarungnya untuk memberikan pelajaran kepada Abu Nawas yang tak mampu menjaga perkataannya di hadapan raja, sang pemimpin. Akan tetapi niat tersebut dicegah sendiri oleh Raja Harun Ar-Rasyid.
"Wahai Abu Nawas, aku merindukan kecerdasanmu, maka berilah aku nasihat," pinta Raja.
"Dengan apa aku menasehatimu, inilah istana dan kuburan mereka," kata Abu Nawas.
"Tambahkan lagi, engkau telah memberikan nasihat yang bagus," ujar raja mulai bersemangat.
"Wahai Amirul Mukminin, barang siapa yang dikarunia Allah SWT dengan harta dan ketampanan, lalu ia dapat menjaga kehormatannya dan ketampanannya, serta memberikan bantuan dengan hartanya, maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang shaleh," kata Abu Nawas.

Raja Harun Ar-Rasyid begitu senang mendapatkan nasihat itu. Ia kemudian mengira Abu Nawas menginginkan sesuatu darinya.
"Aku telah menyuruh para pengawalku untuk membayar hutangmu," kata Raja.
"Tidak Amirul Mukminin, kembalikan harta itu kepada yang berhak menerimanya. Bayarlah hutang diri Anda sendiri," kata Abu Nawas.

Namun Raja Harun tak menyerah begitu saja. Ia kemudian mempersiapkan hadiah khusus pada Abu Nawas.
"Aku telah mempersiapkan sebuah hadiah untukmu,"katanya.
"Wahai Amirul Mukminin, apakah Paduka berfikir bahwa Allah hanya memberikan karunia kepada Anda dan melupakanku," jawab Abu Nawas yang segera pergi dari hadapan raja.

Perlakuan itu membuat sang Raja merenung sambil mengevaluasi dirinya sendiri.
Raja Harun sadar kalau selama ini dirinya kurang adil dan berlaku sombong dengan jabatannya sehingga mudah meremehkan orang lain. Usai mendapat nasihat dari Abu Nawas, Raja Harun berubah menjadi raja yang adil dan bijaksana kepada rakyatnya.

[Abu Nawas memberikan nasihat berupa sedikit sindiran, namun sang raja tidak tersinggug, atau marah atau bahkan memenjarakan Abu Nawas. Raja malah merenung dan terus merenungi apa gerangan kesalahan yang telah dia buat selama memimpin kerajaan.
Salut untuk Raja Harun Ar-Rasyid yang telah menerima kritikan dari rakyat kecil.]
readmore »»  

Monday, November 16, 2015

Minta Tolong pada Lalat


Abu Nawas hanya tertunduk lesu dan sedih ketika mendengarkan penuturan istrinya.
Tadi pagi beberapa pekerja dari kerajaan telah membongkar rumahnya dan mereka terus menggali tanpa bisa dicegah lagi.
Mereka mengatakan bahwa tadi malam Baginda Raja bermimpi kalau di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya.

Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan.
Baginda akhirnya meminta maaf kepada Abu Nawas dan bersedia mengganti kerugian.
Inilah yang membuat hati Abu Nawas sedih.

Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas Baginda.
Makanan yang dihidangkan istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap.
Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak dari tempat duduknya.

Keesokan harinya Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang mulai basi.
Tiba-tiba Abu Nawas tertawa riang.

"Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi," kata Abu Nawas kepada istrinya.
"Untuk apa?" tanya istrinya.
"Membalas Baginda Raja." jawab Abu Nawas.

Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana.
Setibanya di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,
"Ampun Tuanku, hamba menghadap hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak di undang.
Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan makanan hamba," kata Abu nawas mengadu.

"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Lalat-lalat ini, Tuanku," jawab Abu Nawas.
"Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini." jelas Abu Nawas.
"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan?"
"Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu."

Baginda Raja tidak bisa menolak permintaan Abu Nawas karena pada sat itu para menteri sedang berkumpul di istana.
Maka dengan sangat terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu dimana pun mereka hinggap.

Tanpa menunggu perintah, Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini.
Dengan tongkat besi yang sudah dibawanya sejak tadi, Abu nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu, bahkan di kaca.
Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas.
Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang hinggap di tempayan Baginda Raja.

Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya.
Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri.
Barang-barag kesayangan Baginda banyak yang hancur dan bukan itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu.

Abu Nawas pulang dengan perasaan lega.
Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa saja yang dibawa dari istana.
readmore »»  

Sunday, November 15, 2015

Menipu Raja dapat Hadiah


Pada suatu hari Abu Nawas mengajak Raja Harun Ar-rasyid pergi ke sebuah desa.
Sang Raja diminta menyamar sebagai rakyat biasa dan tidak boleh membawa pasukan karena ia akan menunjukkan potret nyata sebagian rakyat di kerajaan itu.

Tibalah keduanya di sebuah desa yang mayoritas penduduknya suka makan daging manusia.
Hingga akhirnya Abu Nawas dan Baginda Raja tertangkap oleh penduduk tersebut.
Mereka akan dibunuh lalu dagingnya akan di masak dan di makan.

Akan tetapi Abu Nawas akhirnya dilepaskan karena memiliki tubuh yang kurus dan kusam, sedangkan Sang Raja tetap ditahan karena gemuk dan kulitnya bersih.
Namun beruntung bagi Baginda, dalam sebuah kesempatan ia berhasil melepaskan diri dan lolos.
Namun demikian Raja Harun menaruh dendam kepada Abu Nawas dan berjanji akan menghukumnya.

Maka di suruhlah prajurit kerajaan untuk menangkap Abu Nawas di rumahnya.
Beruntung saat di datangi prajurit, Abu Nawas bersembunyi dan prajurit itu pulang ke istana dengan tangan hampa.

"Apa yang telah engkau lakukan sehingga prajurit kerajaan akan menangkapmu," kata istri Abu Nawas.
Abu Nawas pun akhirnya bercerita panjang lebar sebab adanya perintah penangkapannya itu.
Si istri gelisah, ia tahu bahwa raja akan menghukum suaminya dengan hukuman yang berat.
"Lalu apa yang akan kamu perbuat, tidak mungkin kamu bersembunyi, karena suatu saat prajurit istana akan datang lagi ke rumah ini untuk menangkapmu," ujar istrinya.
Wajah Abu Nawas sepintas nampak lesu.
Namun beberapa detik kemudian wajahnya mulai tersenyum, sepertinya ia baru saja menemukan ide yang cemerlang.

"Wahai istriku, aku akan pura-pura mati, menangislah dan berteriaklah kamu agar para tetangga yakin aku telah mati," kata Abu Nawas.
Si istrinya pun lantas melakukan perintah suaminya.
Ia tiba-tiba menangis dan berteriak sembari menyebut nama suaminya dan para tetangga pun berdatangan, mereka melihat tubuh Abu Nawas terbujur kaku di ranjangnya.
Mereka mengira Abu Nawas benar-benar mati.

Maka dengan cepat kabar kematian Abu Nawas tersebut tersebar ke penjuru negeri.
Bahkan Baginda tetap tidak percaya, ia meminta kepada prajurit untuk membawa mayat Abu Nawas ke istana.

Berangkatlah prajurit istana ke rumah duka dan membawa jasad Abu Nawas ke hadapan Raja.
Tubuh Abu Nawas yang sudah terbungkus kafan terbujur kaku di hadapan Raja.
Melihat pemandangan itu, kemarahan Raja menjadi luluh, Ia ikut sedih mengingat Abu Nawas banyak memberikan nasihat jitu kepadanya.
Bahkan di saat Sang Raja mendapat sedih, Abu Nawaslah yang sering menghiburnya.
Kesedihannya bertambah begitu mengetahui Abu Nawas mati setelah mendengar kemarahannya.

"Sungguh aku sedih, aku bersumpah, seandainya Allah SWT belum mencabut nyawa Abu Nawas, maka ia akan kuampuni dan akan kuberi hadiah atas pengabdiannya kepada kerajaan selama ini," tutur Raja di hadapan mayat Abu Nawas.

Mendengar sumpah atas nama Allah itu, Abu Nawas tiba-tiba bangun dan ia sendiri keluar dari kain kafan itu dan menagih janji Raja.

"Allah masih belum mentakdirkan aku untuk mati, maka sekarang tepatilah janjimu," kata Abu Nawas.

Tentu saja kejadian itu membuat seisi istana terperangah kaget.
Mereka tidak menyangka kalau Abu Nawas akan berpura-pura mati untuk mengelabuhi Raja.
Begitu pula Raja Harun, Ia tidak bisa lagi mengelak dan harus menepati janjinya karena telah bersumpah atas nama Allah SWT.
readmore »»  

Saturday, November 14, 2015

Menipu Gajah Ajaib


"Ada kerumunan apa di sana?" tanya Abu Nawas.
"Pertunjukan keliling yang melibatkan gajah ajaib." jawab kawan Abu Nawas tersebut.
"Apa maksudmu dengan gajah ajaib?" tanya Abu Nawas lagi.
"Gajah yang bisa mengerti bahasa manusia dan yang lebih menakjubkan lagi adalah gajah itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja." jawab kawan Abu Nawas.

Ia tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan keajaiban binatang raksasa itu.
Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton.
Karena begitu banyak penonton yang menyaksikan pertunjukan itu, sang pemilik gajah dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja yang sanggup membuat gajah itu mengangguk-angguk.
Tidak heran bila banyak diantara para penonton yang mencoba untuk maju satu persatu.
Mereka berupaya dengan beragam cara untuk membuat gajah itu mengangguk-angguk, tetapi usaha mereka sia-sia.
Gajah itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.

Melihat kegigihan gajah itu, Abu Nawas semakin penasaran hingga ia maju untuk mencoba.
Setelah berhadapan dengan binatang berbelalai itu, Abu Nawas bertanya,
"Tahukah engkau siapa aku ini?"
Gajah menggeleng.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?" tanya Abu Nawas lagi .
Namun Gajah itu tetap saja menggeleng-gelengkan kepala.
"Apakah engkau takut kepada tuanmu?" tanya Abu Nawas memancing.
Gajah itu mulai ragu.
"Bila engkau tetap diam maka akan aku laporkan kepada tuanmu." lanjut Abu Nawas mengancam. Akhirnya gajah itu terpaksa mengangguk-angguk.

Atas keberhasilan Abu Nawas membuat gajah itu mengangguk-angguk maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak.
Bukan main marahnya pemilik gajah itu hingga memukuli binatang yang malang itu.
Pemilik gajah itu malu bukan kepalang.

Pada hari berikutnya, ia ingin menebus kekalahannya.
Kali ini ia melatih gajahnya mengangguk-angguk.
Bahkan ia mengancam akan menghukum berat gajahnya apabila sampai bisa dipancing penonton mengangguk-angguk terutama oleh Abu Nawas.
Tak peduli apapun pertanyaan yang diajukan.

Saat-saat yang dinantikan telah tiba.
Kini para penonton ingin mencoba, harus sanggup membuat gajah itu menggeleng-gelengkan kepala.
Maka seperti hari sebelumnya, banyak para penonton tidak sanggup memaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah tidak ada lagi yang ingin mencobanya, Abu Nawas maju lagi.
Ia ingin mengulang pertanyaan yang sama.

"Tahukah engkau siapa aku ini?" tanya Abu Nawas.
Gajah itu mengangguk.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?"
Gajah itu tetap mengangguk.
"Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?" pancing Abu Nawas.
Gajah itu tetap mengangguk.
Gajah itu mengangguk karena binatang itu lebih takut terhadap ancaman tuannya daripada Abu Nawas.

Akhirnya Abu Nawas mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam.
"Tahukah engkau apa guna balsam ini?" tanya Abu Nawas.
Gajah itu tetap mengangguk.
"Baiklah, bolehkah kugosok selangkangmu dengan balsam?"
Gajah itu mengangguk lagi.

Lalu Abu Nawas menggosok selangkang binatang itu.
Tentu saja gajah itu merasa agak kepanasan dan mulai agak panik.
Kemudian Abu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar.
Bungkusan itu juga berisi balsam.

"Maukah engkau bila balsam ini aku habiskan untuk menggosok selangkangmu?" ancam Abu Nawas.
Gajah itu mulai ketakutan.
Dan rupanya ia lupa ancaman tuannya sehingga terpaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala sambil mundur beberapa langkah.

Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan sayembara itu.
Abu Nawas telah meruntuhkan kegigihan gajah yang dianggap cerdik itu.
Pemilik gajah itu marah bukan main dan tidak tahu lagi harus bagaimana mengalahkan Abu Nawas.

readmore »»  

Friday, November 13, 2015

Menipu Abunawas


Krisis ekonomi yang sedang melanda negeri yang dipimpin oleh Raja Harun Ar-Rasyid, membuat seorang Abu Nawas mengalami kesulitan uang. Ia memutuskan untuk menjual keledai kesayangannya, padahal kendaraan itu miliknya satu-satunya.

Tak perduli siapapun orangnya, semua pun bisa terkena imbas dari krisis ekonomi, tak terkecuali Abu Nawas. Bahkan, demi menjaga asap dapur agar tetap bisa mengepul, dirinya harus rela menjual keledai kesayangannya walaupun sebenarnya ia tak tega untuk menjualnya.

Keesokan harinya, Abu Nawas membawa keledainya ke pasar. Namun, dari kejauhan Abu Nawas rupanya sedang diintai oleh sekelompok pencuri yang terdiri dari empat orang.

Mereka pun berencana untuk memperdaya Abu Nawas dengan beberapa strategi yang telah disusun. Ketika Abu Nawas sedang beristirahat di bawah pohon, salah seorang pencuri mendekatinya dan mengatakan kalau ingin membeli kambing yang akan dijualnya. Abu Nawas pun terkejut mendengar perkataan pencuri tersebut. Tapi, dirinya terus melanjutkan perjalanannya karena yakin bahwa yang dibawanya adalah seekor keledai, bukan seekor kambing.

Di tengah-tengah perjalanan, Abu Nawas pun kembali dihentikan oleh pencuri kedua dan ketiga. Keduanya pun tak berhasil meyakinkan Abu Nawas. Abu Nawas percaya diri bahwa yang hendak dijualnya adalah seekor keledai, bukan seekor kambing.
Walaupun mulai tampak ragu karena ada tiga orang yang menyebut keledainya dengan seekor kambing, Abu Nawas tetap melanjutkan perjalanan pergi ke pasar.
Sebelum sampai di pasar, Abu Nawas langsung didatangi oleh pencuri keempat. Dengan percaya diri, pencuri tersebut meyakinkan Abu Nawas untuk menjual kambing yang dibawanya.
"bagus sekali kambingmu," kata pencuri keempat percaya diri.
"Kau juga yakin kalau ini adalah kambing," tanya Abu Nawas.

Setelah bernegosiasi, Abu Nawas pun akhirnya menjual keledai yang dibawanya kepada pencuri keempat sebesar tiga dirham. Dengan perasaan bingung, Abu Nawas langsung pulang ke rumah karena mengetahui bahwa keledainya hanya dihargai tiga dirham saja.

Benar saja, sesampainya di rumah, Abu Nawas langsung dimarahi oleh istrinya karena telah menjual seekor keledai dengan harga yang murah, hanya tiga dirham saja. Abu Nawas pun menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya.

Akhirnya, terpikir oleh Abu Nawas untuk balik mengerjai komplotan pencuri tersebut. Abu Nawas pergi ke hutan mencari kayu untuk dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan dengan lancar.

Tak lama kemudian, banyak orang mulai membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Dan berita itu akhirnya terdengar juga oleh komplotan pencuri yang telah menipu Abu Nawas dulu. Bahkan, mereka langsung tertarik karena melihat sendiri kesaktian tongkat tersebut. Cukup dengan mengacungkan tongkatnya saja, Abu Nawas terlihat makan di kedai tanpa membayar uang sepeserpun.

Para pencuri pun berfikir kalau tongkat itu bisa dibeli, maka tentu saja mereka akan cepat kaya. Setelah bernegosiasi yang cukup sulit, akhirnya Abu Nawas menjual tongkatnya sebesar seratus dirham.

Setelah transaksi selesai, Abu Nawas pun segera melesat pulang sambil membawa uang dari hasil penjualan tongkat tersebut. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat itu.
Seusai makan, mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai, yang tentu saja membuat pemilik kedai marah besar.

Keempat pencuri itu tidak terima, karena sebelumnya, Abu Nawas juga melakukan hal yang sama dengan mengacungkan tongkat saja.
Pemilik kedai pun menjelaskan bahwa sebelum makan di kedai miliknya, Abu Nawas telah menitipkan sejumlah uang kepadanya.
readmore »»  

Thursday, November 12, 2015

Menilai Syair


Baginda Raja Harun Al Rasyid mempunyai dua orang putra dari permaisurinya.
Putra pertama bernama Al Amin dan putra kedua bernama Al Makmun.
Al Amin ternyata sangat bodoh dan pemalas, sedangkan Al Makmun terkenal rajin dan pintar dalam ilmu dan sastra.

Raja sangat menyukai Al Makmun karena kecerdasannya tersebut, dan tentu saja ini membuat sang permaisuri tidak suka lantaran sang raja dianggap pilih kasih. Padahal keduanya kan sama putranya.
"Suamiku, kenapa Anda tidak begitu menyayangi Al Amin," tanya permaisuri Zubaidah.
"Karena ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal sastra," jawab baginda raja.
"Suamiku, sebenarnya kalau mau, Al Amin akan menguasai ilmu sastra daripada saudaranya. Sebenarnya ia lebih cerdas, ia hanya malas saja," kata permaisuri.
"Kalau begitu biar besok aku panggil Abu Nawas untuk menguji syairnya," tambahnya.

Pagi buta Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri.
"Abu Nawas, coba kamu dengarkan karya syair putraku ini," kata sang permaisuri dengan bangga.

Al Amin lalu membacakan beberapa bait syair sebagai berikut,
"Kami adalah keturunan Bani Abbas, kami duduk di atas kursi."

Abu Nawas hampir tidak kuat menahan tawanya mendengar syair tersebut.
"Bagaimana," tanya Al Amin kepada Abu Nawas.
"Syair macam apa itu," jawab Abu Nawas.

Al Amin marah sekali mendengar cemooh Abu Nawas tersebut.
Ia lalu menyuruh seorang pasukan istana untuk menangkap dan memasukkan Abu Nawas ke dalam penjara.
Selama beberapa hari Abu Nawas tidak pernah muncul di istana, sehingga Raja Harun Al Rasyid merasa rindu.
Belakangan, raja mendengar kabar bahwa Abu Nawas dimasukkan penjara oleh Al Amin.
Ia kemudian mengajak putranya itu ke penjara untuk menjenguk Abu Nawas.

"Kenapa kamu memenjarakannya," tanya Baginda kepada Al Amin sambil menceritakan apa yang terjadi.
"Yang sangat menyakitkan ia telah berani mencemooh syair karyaku, ayahanda," kata Al Amin.
"Tentu saja karena memang karya syairmu jelek. Dia itu kan memang seorang penyair hebat, jadi bisa menilai mana karya syair yang bagus dan yang tidak bagus," kata sang Raja menasehati.
"Baik, kalau begitu beri lagi aku kesempatan untuk memperbaiki karya syairku," kata Al Amin sambil beranjak pergi.

Untuk kedua kalinya, Al Amin pergi untuk mengasah syairnya.
Esoknya, pagi-pagi sekali baginda raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas dan beberapa penyair sudah berada di istana.
Rupanya pertemuan itu sudah diatur oleh permaisuri Zubaidah.

Ia ingin mereka mendengarkan karya syair putranya yang baru saja pulang mendalami ilmu sastra.
Al Amin pun mulai membaca karya syairnya,
"Hai binatang yang duduk bersimpuh, rasanya tidak ada yang setolol kamu, kamu seperti hidangan yang diolesi minyak sapi kental, seperti warna seekor kuda belang."

Begitu selesai mendengar syair tersebut, Abu Nawas langsung bangkit dan hendak berlalu dari tempatnya.
"Kemana kamu, Abu Nawas?" tanya raja Harun Al Rasyid.
"Aku lebih suka balik ke penjara saja daripada mendengar syair macam ini. Toh sebentar lagi putramu ini pasti akan menyuruh pasukannya untuk membawaku ke sana," jawab Abu Nawas.

Raja pun tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Abu Nawas itu.
Sementara sang permaisuri Zubaidah hanya bisa duduk bengong.
readmore »»  

Wednesday, November 11, 2015

Menghitung kematian Tahanan


Suatu hari, di negeri Seribu Satu Malam, Baghdad, digelarlah acara hajatan besar. Sang Raja Harun Ar-Rasyid pun berniat merayakan pesta ulang tahun kerajaan bersama-sama dengan seluruh rakyatnya. Pada hari yang telah ditunggu tiba, rakyat Baghdad dikumpulkan di depan balairung istana.

Raja Harun sang penguasa berdiri dan berkata,
"Wahai rakyatku yang tercinta, hari ini kita mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Aku akan memberi hadiah kepada para fakir miskin, aku juga akan memberikan pengampunan kepada para tahanan di penjara dengan mengurangi hukuman menjadi setengah dari sisa hukumannya," seru baginda kepada rakyatnya.

Mendengar ucapan sang raja, tentu saja rakyat Baghdad bersuka ria. Mereka segera berpesta bersama dan menyantap aneka makanan yang telah disediakan. Tak berapa lama kemudian, para pengawal istana membagi-bagikan hadiah kepada fakir miskin.

Setelah dipastikan seluruh rakyatnya yang fakir miskin mendapatkan hadiah, raja pun memanggil para tahanan.
Tahanan pertama yang mendapatkan kesempatan adalah bernama Sofyan (maaf bila ada kesamaan nama). "Sofyan, berapa tahun hukumanmu?" tanya baginda.
"Dua tahun Baginda," jawab Sofyan.
"Sudah berapa tahun yang kamu jalani?" tanya baginda lagi.
"Satu tahun Baginda," jawab Sofyan.
"Kalau begitu, sisa hukumanmu yang satu tahun aku kurangi menjadi setengah tahun sehingga hukumanmu tinggal 6 bulan saja," tegas baginda.

Selanjutnya, dipanggillah Ali.
"Berapa tahun hukumanmu Ali?" tanya baginda.
Dengan nada yang sedih, Ali menjawab,
"Mohon ampun Baginda, hamba dihukum seumur hidup," jawab Ali.
Mendengar jawaban Ali tersebut, Baginda menjadi bingung harus menjawab apa untuk mengurangi hukuman Ali.
Di tengah kebingungannya, Raja yang terkenal bijaksana ini teringat dengan Abu Nawas. Akhirnya, dipanggillah Abu Nawas.
Tak berapa lama kemudian, Abu Nawas yang turut serta dalam pesta ulang tahun kerajaan menghampiri sang Raja yang sedang kebingungan itu.

"Abu Nawas, aku ada masalah mengenai hadiah pengampunan bagi Ali. Dia dihukum seumur hidup sedangkan aku berjanji akan memberikan pengampunan setengah dari sisa hukumannya. Padahal aku tidak tahu sampai umur berapa Ali akan hidup. Sekarang aku minta nasehatmu, bagaimana caranya memberi pengampunan kepada Ali dari sisa hukumannya," jelas Raja.
Mendengar penuturan rajanya, Abunawas pun ikut bingung. Dia berpikir, apa bisa mengurangi umur seseorang, padahal dia sendiri tidak tahu sampai kapan umurnya.
"Hamba minta waktu Baginda," ujar Abunawas.

Abu Nawas Mendapat Sekantung Keping Emas.
Mendengar permintaan Abu Nawas, Raja pun akhirnya memberikan kesempatan kepada Abu Nawas untuk berpikir. Raja hanya memberi waktu sehari semalam saja, tidak boleh lebih. Jadi, besok pagi Abu Nawas harus memberikan jawabannya.

Sesampainya di rumah, Abu Nawas pun berpikir keras untuk menemukan pemecahan masalah tersebut. Dia tidak bisa tidur karena selalu kepikiran akan hal itu. Namun, selang beberapa waktu, tampaklah senyuman di bibir Abu Nawas, pertanda solusi telah ditemukan.
Abu Nawas pun malam itu segera masuk ke kamar untuk tidur dengan nyenyak.

Pada pagi-pagi sekali, Abu Nawas telah bangun.
Setelah mandi dan sarapan, dia pun pergi menghadap raja setelah berpamitan dengan istrinya.
"Hamba sudah mendapatkan cara untuk memecahkan masalah si Ali, Baginda. Begini Baginda, sebaiknya si Ali ini berada di luar penjara dan bisa bebas selama satu hari, lalu pada esoknya, dia dimasukkan lagi ke dalam penjara selama satu hari pula. Lusa juga demikian, sehari bebas, sehari dipenjara, begitu berlangsung terus selama umur si Ali itu," jelas Abu Nawas.

Baginda Raja tersenyum.
"Engkau memang pandai Abu Nawas. Kalau begitu, kamu juga akan aku beri hadiah, yaitu sekantung keping emas," ujar sang Raja.
Setelah itu, Abu Nawas pulang dengan wajah yang ceria.
readmore »»  

Tuesday, November 10, 2015

Menghindari Hujan


Tak diragukan lagi, sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda, maka ia akan mendapat hukuman.
Baginda mengetahui bahwa Abu Nawas sangat takut akan beruang.
Maka dari itu Baginda mengajaknya berburu di hutan untuk menangkap beruang, dan Abu Nawas tak bisa menolaknya.

Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi mendung, Baginda memanggil Abu Nawas.

"Tahukah mengapa engkau aku panggil?" tanya Baginda.
"Ampun tuanku, hamba belum tahu." kata Abu Nawas.
"Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan.
Hutan dari sini masih jauh, kau aku beri kuda yang lamban, sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang kuda yang cepat.
Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar." jelas Baginda.

Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak.
Abu Nawas kini tahu bahwa Baginda akan menjebaknya.
Ia harus mencari akal agar bajunya tidak basah saat hujan turun.
Dan ketika sedang berfikir, tiba-tiba hujan pun turun.

Begitu hujan turun, maka Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan terdekat.
Akan tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup.
Ketika santap siang, Baginda segera menuju tempat peristirahatan, dan ketika itu juga Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban.
Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah, padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat perlindungan terdekat.

Nah pada hari yang kedua, Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi oleh Baginda.
Kini Baginda dan para pengawalnya mengendarai kuda-kuda yang lamban.
Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin.
Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang.

Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya.
Abu Nawas menunggu Baginda Raja.
Selang beberapa saat, Baginda dan para pengawal akhirnya datang juga dengan pakaian yang basah kuyup.

Baginda tak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan Abu Nawas.
Rahasia apakah yang telah dipakai oleh Abu Nawas.
"Terus terang bagaimana caranya menghindari hujan wahai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Mudah Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas dengan tersenyum.
"Sedangkan aku dengan kuda yang cepat saya tidak sanggup mencapai tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini," kata Baginda.
"Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.
Tetapi begitu hujan turun, maka hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya kemudian saya mendudukinya.
Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti," jelas Abu Nawas.
readmore »»  

Monday, November 9, 2015

Mengelabui Petugas Perbatasan Kerajaan


Setiap orang di negeri Irak mulai dari anak-anak hingga dewasa mengenal si Abu Nawas.
Seperti kali ini, seisi desa merasa keheranan karena Abu Nawas tampak setiap minggunya melakukan perjalanan dari desanya ke desa tetangga yang sudah masuk dalam wilayah kerajaan negara lain.

Kali ini, seperti biasanya awal minggu pada suatu bulan, dini hari si Abu Nawas sudah keluar dari rumahnya yang dapat dikatakan sangat sederhana.
Di samping rumah sederhana tersebut terdapat kandang kuda yang penghuninya kerap kali berganti.

Seperti dini hari itu, Abu Nawas bersiap melakukan perjalanan menuju desa tetangganya sembari menunggang kuda.
Keesokan harinya biasanya ia akan pulang ke desanya di negeri Irak tersebut sambil membawa banyak barang.

Karuan saja kebiasaan ini menimbulkan pertanyaan bagi Pak Hamid, tetangganya.
Sehingga sore itu ketika Abu Nawas pulang dari perjalanan tak urung ditanyakanlah perihal perniagaannya yang membuat warga sekampung bingung.

"Hai Abu Nawas, kemanakah engkau beberapa waktu ini, kalau memang engkau memiliki perniagaan yang baik, tolonglah kau ajak kami," ungkap Pak Hamid.
"Ada saja Pak, dan kukira tak akan ada yang mau berniaga sepertiku," jawab Abu Nawas.

Bulan berganti bulan, akhirnya Abu Nawas diduga telah melakukan bisnis yang dilarang.
Bulan berikutnya kembali Abu Nawas berniat melakukan perniagaannya dan dia harus melalui pintu perbatasan.
Si Fulan, petugas penjaga pintu perbatasan memeriksa seluruh barang bawaannya.
Namun tidak ada satupun barang yang mencurigakan.
Hanya ada bekal dan beberapa keping uang.

Keesokan harinya kembali si Fulan berjumpa Abu Nawas di perbatasan, kali ini Abu Nawas membawa banyak barang yang semua lengkap dengan dokumen yang diperlukan.
Si Fulan tidak dapat membuktikan perihal dugaan bisnis terlarang Abu Nawas.
Bahkan karena seringnya perjumpaan tersebut, hubungan keduanya menjadi akrab sampai akhirnya si Fulan dipindahkan dari tempat kerjanya.

Suatu waktu bertemulah 2 orang yang telah lama tidak jumpa di suatu kesempatan yang tidak terduga.
Si Fulan bukan lagi seorang penjaga pintu perbatasan dan dirinya sudah lama pensiun dari pekerjaan itu.

Abu Nawas pun sekarang sudah dikenal sebagai saudagar dermawan yang berhasil.
Pertemuan itu dilanjutkan dengan jamuan makan oleh Abu Nawas.
Dalam kesempatan tersebut masing-masing bercerita tentang pengalaman yang telah mereka hadapi selama lebih kurang 20 tahun tak bertemu.

"Usaha apa yang engkau lakukan di masa itu saudaraku, karena aku mengetahui kau tidak membawa cukup uang.
Tetapi ketika pulang tak hanya keperluan makan, tetapi juga barang lainnya kau bawa setelah pulang dari perniagaan yang tak sampai sehari semalam kau lakukan," tanya si Fulan.

Karena mendengar hal itu, tertawalah Abu Nawas mengingat kebiasaan masa mudanya.
"Sebenarnya sangat mudah saudaraku untuk mencari bukti dan tak perlu harus memeriksa semua barang bawaanku.
Seperti engkau ketahui bahwa aku senantiasa pergi dengan mengendarai kuda, tetapi ketika pulang aku hanya berjalan kaki dan di situlah usahaku," jawab Abu Nawas.
Mendengar penjelasan itu mengertilah si Fulan, yakni di masa itu Abu Nawas menjual kuda-kudanya di negeri tetangga dan pulangnya ia tukarkan dengan barang lainnya.
readmore »»  

Sunday, November 8, 2015

Mengajari Lembu membaca Alqur'an


“Panggil Abu Nawas kemari hari ini juga,“ titah Sultan Harun Al-Rasyid kepada seorang hambanya.

“Tuan Abu Nawas …” kata si hamba raja sesampai di rumah Abu Nawas, “Tuan Hamba dipersilahkan Baginda datang ke istana hari ini juga.”

Hanya berjarak setengah jam setelah hamba sahaya tadi sampai di istana, Abu Nawas pun tiba di sana.
“Hai Abu Nawas …” kata Sultan, “Tahukah kamu mengapa kamu aku panggil kemari? Aku minta tolong kepadamu untuk mengajari lembuku supaya bisa mengaji Al-Qur’an. Jika lembu itu tidak dapat mengaji, niscaya aku akan menyuruh mereka membunuh kamu.”
“Baiklah Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas, “Titah tuanku hamba junjung di atas kepala hamba.” Kemudian Abu Nawas di suruh pulang dengan menghela seekor lembu. Sesampai dirumah lembu itu diikat erat-erat pada sebatang pohon kurma.

Esok harinya Abu Nawas mulai memukul lembu itu dengan sebuah cambuk rotan sampai setengah mati.
Ketika binatang itu hampir mengamuk, Abu Nawas mengucapkan kata “atau”, “atau”, “atau”. Perkataan itulah yang diajarkan Abu Nawas kepada lembu itu sambil tetap mengayunkan cambukannya tanpa henti.
Pekerjaan itu ia lakukan setiap hari pagi sampai tengah hari dan dari dhuhur sampai maghrib selama beberapa hari sehingga tidak terpikirkan untuk menghadap ke istana.

Setengah bulan kemudian baginda menyuruh seorang hamba melihat ke rumah Abu Nawas, apakah dia mampu mengajari lembu itu mengaji atau tidak.
Apa yang disaksikan oleh hamba sahaya tadi di rumah Abu Nawas, tiada lain cambukan yang dilancarkan oleh Abu Nawas ke badan lembu itu sambil berkata ”atau, “atau, “atau” sampai binatang itu kesakitan setengah mati. Maka dilaporkanlah hal itu kepada Baginda Sultan.

“Mohon ampun baginda,” kata hamba sahaya itu sesampai di Istana, “hamba lihat Abu Nawas sedang mengajar lembu itu di belakang rumah dengan sebuah cambuk rotan yang besar. Jika tali pengikatnya tidak kuat pastilah lembu itu lepas dan mengamuk, yang diajarkan tidak lain hanyalah tiga patah kata , yaitu “atau”, “atau”, “atau”.
Baginda terheran-heran mendengar laporan itu, setelah berpikir sejenak baginda bertitah, “Panggil kemari Abu Nawas sekarang juga, aku mau tahu apakah lembu itu sudah bisa mengaji atau belum.”

Tidak lama kemudian Abu Nawas pun sampai di Istana, ia pun datang menyembah.
“Hai Abu Nawas, sudahkah engkau mengajari lembuku itu dan apakah lembu itu sudah bisa mengaji Al-Qur’an?” tanya Baginda Sultan.
Sudah bisa sedikit-sedikit, Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas.
“Tadi aku suruh seorang hamba melihat ke rumahmu, katanya engkau mengajari lembu itu kalimat “atau”, “atau”, “atau”. Aku mau tahu apa artinya perkataan itu?”
“Mohon ampun Syah Alam,” kata Abu Nawas. Arti “atau”, “atau”, “atau” itu adalah jika bukan lembu yang mati, atau hamba, atau tuanku, atau tidak ada salah seorang yang mati, hamba tidak akan puas. Sebab sampai habis umurnya sekalipun, binatang itu tidak akan bisa mengaji Al-Qur’an. Itu sebabnya binatang itu hamba cambuk agar mati. Dengan demikian hamba senang karena pekerjaan hamba dapat selesai. Atau hamba yang mati, atau Paduka yang mati, atau salah satu, barulah habis perkara lembu itu.”

Baginda terperanjat di tempat duduknya, tidak dapat berkata sepatah katapun. Setelah termenung sejenak, baginda berkata. “Kalau begitu lembu itu boleh kamu ambil, atau kamu jual, atau kamu buat sate.”
“Terima kasih banyak-banyak, ya Tuanku Baginda Syah Alam,” kata Abu Nawas sambil menyembah hingga kepalanya menyentuh tanah. Ia pun mohon diri pulang ke rumah dengan langkah ringan dan hati senang.
readmore »»  

Saturday, November 7, 2015

Mengajari Keledai Membaca


Pada suatu hari seorang menteri kerajaan yang dipimpin oleh Harun al Rasyid tiba-tiba punya pikiran buruk kepada Abu Nawas.
Rupanya ia iri hati terhadap perhatian Raja yang begitu berlebihan terhadap Abu Nawas daripada dirinya.

Tanpa ada sebab, menteri itu memberikan seekor keledai kepada Abu Nawas.
"Ajari keledai itu membaca.
Dalam 2 minggu, datanglah kembali kemari dan kita lihat hasilnya," kata menteri itu.

Abu Nawas menerimanya dan kemudian pergi tanpa banyak kata.
Namun dalam hati ia masih was-was juga atas niat menteri itu.
"Apakah ini salah satu tipu dayanya untuk menghancurkan nama baikku?" tanya Abu Nawas dalam hati.
Abu Nawas berusaha cuek saja dan dalam 2 minggu kemudian ia kembali ke istana.

Tanpa banyak bicara, menteri mengajaknya menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.
"Baginda, akan aku tunjukkan siapa sebenarnya diriku ini," kata menteri itu dengan lantang.
"Hai menteri, ada apa dengan dirimu?" bentak Raja Harun.
"Tenang Baginda, hari ini Baginda akan tahu kecerdasan akal saya sebenarnya mengungguli kecerdasan Abu Nawas," ucap menteri.
"Apalagi yang akan dibuat oleh menteri ini," kata Abu Nawas dalam hati.
"Baiklah, jika salah satu dari kalian menang, maka ia berhak mendapatkan sekantung dirham ini, tetapi bagi yang kalah ia akan dihukum 3 bulan di penjara," titah Sang Raja.

Tanpa bisa mengelak, Abu Nawas terpaksa menyanggupi permainan aneh itu.
Tiba-tiba menteri itu menunjuk ke sebuah buku besar.
"Coba buktikan jika keledai itu bisa membaca, bukankah engkau cerdas dalam segala hal?" kata menteri kepada Abu Nawas.

Abu Nawas lalu menggiring keledainya ke buku itu dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu dan tak lama kemudian mulai membalik halamannya dengan lidahnya.
Terus menerus dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman terakhir.
Setelah selesai si keledai menatap Abu Nawas.

"Demikianlah, keledaiku bisa membaca," kata Abu Nawas.
Kini giliran si menteri itu menginterogasi.
"Bagaimana caramu mengajari dia membaca?" tanyanya.
"Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya.
Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa memakan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar." jelas Abu Nawas.
"Tapi bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?" tukas si menteri.
"Memang demikianlah cara keledai membaca, dia hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai bukan?" jawab Abu Nawas.

Jawaban Abu Nawas ini mendapatkan anggukan dari Baginda Raja.
Raja mengerti, sepintar-pintarnya hewan, tidak akan sanggup menjadi sesempurna manusia.
Hanya manusia bodoh saja yang tidak mau menggunakan akalnya untuk berfikir.
Akhirnya Abu Nawas mendapatkan hadiah sekantung dirham, sedangkan menteri masuk penjara.
readmore »»  

Friday, November 6, 2015

Menasehati Hartawan Zalim


Salah seorang pemuda menjadi kaya karena warisan dari orang tuanya.
Kehidupannya drastis menjadi orang kaya dan hampir semua orang ingin berkawan dengannya.
Berita akan kekayaan si pemuda ini cepat tersebar hingga ke pelosok desa, dan masyarakat kagum akan megahnya rumah yang dia bangun, ya karena memang tampak berbeda dengan rumah lainnya.

Entahlah apa yang ada di hati si pemuda ini, hampir setiap hari dia mengadakan pesta di rumahnya.
Karena dibujuk oleh beberapa teman agar menyajikan pesta yang lebih meriah dari hari ke hari, lama kelamaan kekayaannya pun mulai menipis karena untuk pesta meriah yang diadakannya sendiri.

Benar saja, hanya dalam waktu yang singkat, uang yang dimiliki pemuda tersebut telah habis, bahkan dirinya tak mampu lagi memberi gaji kepada pembantunya sendiri.
Efeknya lagi, kawan-kawannya mulai menjauhinya dengan perlahan-lahan pula.

Pemuda tersebut benar-benar menjadi miskin dan hidup sebatang kara tanpa seorang pun yang mendampinginya.
Pemuda itu berniat mendatangi Abu Nawas agar kembali mendapatkan berkah.
Pemuda itu mengutarakan maksudnya,
"Uang saya sudah habis dan kawan-kawan saya telah meninggalkanku, apa yang seharusnya aku lakukan," keluh pemuda itu.
"Jangan khawatir, segalanya akan normal kembali, tunggu saja beberapa hari ini, kau akan kembali tenang dan bahagia," tutur Abu Nawas.
"Jadi saya akan segera kembali kaya," kata pemuda itu girang.
"Bukan begitu maksudku, kau salah tafsir, maksudku dalam waktu yang tidak terlalu lama kau akan terbiasa menjadi orang yang miskin dan tidak mempunyai teman," jelas Abu Nawas kepada pemuda tersebut.

Kemudian Abu Nawas menjelaskan bahwa apa yang diterima dan dialami oleh pemuda tersebut adalah akibat dari apa yang dilakukannya sendiri.
Selain itu, dirinya pun tak pernah sekali pun untuk berusaha mengelola harta yang dimilikinya.
readmore »»  

Thursday, November 5, 2015

Memindahkan Istana


Baginda Raja Harun al-Rasyid baru saja membaca sebuah kitab tentang kehebatan Raja Nabi Sulaiman yang mampu memerintahkan para jin untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya.
Tiba-tiba saja Baginda merasa tertarik.
Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama dengan Raja Sulaiman itu.
Secara tiba-tiba saja baginda ingin agar istananya dipindahkan ke atas gunung agar lebih leluasa melihat pemandangan alam sekitar.
Baginda pun berfikir sejenak, bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan oleh Abu Nawas yang terkenal amat cerdik di negerinya.
Tanpa membuang waktu, Abu Nawas segera dipanggil ke istana menghadap Baginda Raja Harun al-Rasyid.

Setelah menghadap, Baginda Raja berkata,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya baginda.
Abu Nawas diluar dugaan tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ia berfikir sejenak hingga keningnya berkerut.
Dalam hatinya ia berfikir kalau ia tidak mungkin menolak permintaan Baginda, kecuali memang ingin dihukum.

Setelah berfikir, Abu Nawas akhirnya terpaksa menyanggupi permintaan Baginda yang merupakan proyek raksasa itu.
Ada lagi permintaan dari Baginda, bahwa pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.
Abu Nawas pun pulang dengan hati menggerutu.
Setiap malam ia hanya berteman dengan bintang dan rembulan saja.
Hari demi hari dilewati dengan kegundahan dengan proyek yang mustahil itu.
Tiada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari itu.
tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Ya memang Imam Abu Nawas seorang yang cerdik lagi pandai.

Keesokan harinya Abu Nawas menuju ke istana.
Ia menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana dan dengan senang hati Baginda akan mendengarkan apa yang diinginkan Abu Nawas.
"Ampun Tuanku, hamba datang kesini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti," kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?" tanya Baginda.
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada hari raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang 20 puluh hari lagi." jawab Abu Nawas.
"Kalau hanya itu usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda yang mulia." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih 10 ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu aku terima." kata Baginda yang menyetujui usul Abu Nawas.

Abu Nawas pun pulang dengan perasaan riang gembira.
Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, toh nanti bila waktunya tiba ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda ke atas gunung.
Jangankan hanya ke puncak gunung, ke dasar samudra pun Abu Nawas sanggupi.

Berita itu mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Hampir semua orang berharap cemas, tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin akan kemampuan Abu Nawas, karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang diberikan kepadanya.
Namun ada juga yang merasa ragu akan keberhasilan Abu Nawas kali ini.

Saat yang dinantikan akhirnya tiba juga.
Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan shalat Idul Qurban.
Dan seusai shalat, 10 sapi sumbangan dari Baginda disembelih lalu dimasak kemudian dibagikan kepada fakir miskin.

Nah kali ini giliran Abu Nawas yang harus melakukan tugas berat itu.
Abu Nawas pun berjalan menuju istana dan diikuti oleh rakyat.
Sesampainya di depan istana, Abu Nawas bertanya kepada Baginda.
"Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?" tanya Abu Nawas.
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.

Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana.
Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu.
Akhirnya Baginda Raja tidak sabar juga.
"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." jawab Abu Nawas.
"Apa maksudmu sudah siap sejak tadi?
Kalau engkau sudah siap, lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda dengan heran.
"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba.
Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunug sesuai permintaan Paduka." jelas Abu Nawas.

Baginda Raja yang mendengar penjelasan Abu Nawas ini merasa terpana.
Dalam hati dia berfikir bahwa tiada mungkin seorang manusia pun di muka bumi ini yang menyamai kejayaan Raja Sulaiman.
Betapa cerdiknya si Abu Nawas ini dengan alasan yang masuk akal.
Masih ingat kan, pada saat Rasulullah SAW yang pada waktu shalat diganggu oleh Jin Ifrit, dan Beliau pun ingin menangkap Ifrit itu dan merantainya di tiang masjid.
Namun hal itu tidak Beliau lakukan karena teringat akan doanya Raja Sulaiman yang merupakan Raja dari segala raja yang tidak akan dimiliki oleh seorang pun setelah meninggalnya Nabi Sulaiman.
readmore »»  

Wednesday, November 4, 2015

Memeras Pemeras


Alkisah pada waktu itu banyak sekali rakyat jelata yang ingin mendapatkan hadiah besar dari Sang Raja.
Karena sudah menjadi aturan kerajaan, bagi siapa saja yang bisa membawakan berita bagus untuk Raja, maka ia akan mendapat hadiah yang sangat besar.
Tentu saja haruslah Baginda senang mendengaranya...
Kalau tidak....Pancung hukumannya.

Dari itu, tidak semua orang berani begitu saja menghadap dan menyampaikan berita hangat kepada Baginda.
Ha ha... ini si Abu Nawas sukanya mencari uang untuk dibagikan kaum fakir miskin, mulai tergerak hatinya karena tetangga sebelah rumah banyak yang fakir dengan gaji pas-pasan lagi.
Memang Abu Nawas ini terkenal sebagai manusia dengan segudang ide.
Dia bermaksud ke istana untuk menyampaikan sebuah berita yang amat menarik.
Abu Nawas yakin kalau yang akan disampaikannya pasti akan membuat Baginda girang, karena berita ini jarang diketahui orang.

Di suatu pagi yang cerah, Abu Nawas berangkat sendirian menuju istana.
Tetapi semuanya tidak seperti yang dibayangkan semula karena ia harus berhadapan dengan pengawal, penjaga pintu gerbang istana.
Penjaga itu yakin bahwa Abu Nawas adalah orang yang sangat cerdik, bahkan paling cerdik di negerinya.
Dari itu, tidak mungkinlah Abu Nawas gagal untuk menyenangkan hati Baginda, guman si penjaga gerbang.

Penjaga itu berlagak acuh tak acuh berkata kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, engkau akan aku ijinkan masuk asalkan engkau berjanji terlebih dahulu kepadaku," kata penjaga pintu gerbang itu.
"Janji apa?" Abu Nawas pura-pura tak tahu.
"Engkau harus berjanji kepadaku bahwa apapun hadiah yang engkau terima harus dibagi sama rata denganku," kata penjaga pintu gerbang istana.
"Baiklah...," kata Abu Nawas jengkel.

Setelah Abu Nawas menjanjikan separo hadiah yang akan diterimanya dari Baginda barulah penjaga itu mengijinkan Abu Nawas masuk.
Kejengkelan Abu Nawas terhadap penjaga gerbang yang nakal ini berubah menjadi dendam yang berkobar-kobar.
Akhirnya Abu Nawas mempunyai ide untuk memberikan pelajaran berharga buat pengawal, penjaga pintu gerbang istana itu.

Setelah masuk istana, Baginda Raja Harun al-Rasyid merasa sangat senang.
Rasa senang ini sampai ke lubuk hatinya yang paling dalam.
Setelah Abu Nawas menyampaikan berita yang amat langka dan jarang diketahui oleh manusia, Baginda pun merasa sangat senang dan puas.
Baginda merasa belum pernah mendengarnya, hingga seolah-olah ia telah menjadi orang yang paling beruntung di dunia.

"Wahai Abu Nawas, kali ini tentukanlah sendiri hadiah yang engkau inginkan," kata Baginda.
"Terima kasih, paduka junjungan hamba.
Bila diperkenankan memilih hadiah, maka hamba meminta seratus cambukan," jawab Abu Nawas.
Tentu saja Baginda bertanya-tanya dalam hati, merasa kaget dan heran.
Tetapi Baginda yakin bahwa Abu Nawas pasti mempunyai maksud tertentu di balik itu.
Dari itu, Baginda memanggil algojo kerajaan dan berpesan jangan terlalu keras kalau mencambuk Abu Nawas.

Algojo sudah siap dengan cambuk di tangan.
Abu Nawas dipersilahkan maju.
Sesuai dengan pesan dari Baginda, algojo itu mencambuk Abu Nawas dengan pelan.
Tepat pada hitungan ke lima puluh Abu Nawas berteriak,

"Berhenti....!!!"

Baginda kaget.
Beliau bertanya kepada Abu Nawas.
"Mengapa engkau minta hukuman cambuk dihentikan. Bukankah engkau sendiri yang memintanya?" kata Baginda belum mengerti.
"Paduka yang mulia, sebenarnya penjaga pintu gerbang istana telah melarang hamba untuk masuk kecuali hamba mau berjanji membagi sama rata hadiah apapun yang akan hamba terima.
Kini hamba mohon sisa hukuman itu dibebankan kepada penjaga pintu gerbang itu, wahai Paduka yang mulia," kata Abu nawas menjelaskan.

Haa...
Bukan kepalang murka Baginda.
Tanpa banyak bicara lagi, pengawal itu dipanggil untuk masuk.
Baginda berpesan kepada algojo untuk melanjutkan hukuman lecut kepada pengawal yang zalim itu dengan sabetan yang sangat keras, sekeras-kerasnya.

Algojo dengan suka cita menerima titah Baginda.
Tak mengherankan jika pengawal itu hampir pingsan terkena lecutan keras itu.
Abu Nawas merasa sangat senang berbagi lecutan dengan pengawal ini.
Namun demikian, Abu Nawas belum juga puas,karena harusnya dia mendapat hadiah dari Baginda.
Hari berikutnya, Abu Nawas menemui pengawal itu dan berkata,
"Tahukah engkau apa yang bisa aku lakukan terhadap dirimu kapanpun aku mau?" ancam Abu Nawas.
"Tidak," jawab pengawal itu ketakutan.
"Karena engkaulah aku tidak membawa hadiah apa-apa kecuali lecutan. Kalau engkau tidak mau mengganti hadiah yang mestinya aku terima maka aku akan mengadukan kepada Baginda," kata Abu Nawas yang mengetahui kalau pengawal ini suka terima suap juga dari orang lain.
Karena takut, maka pengawal itu bersedia menjual ladang hasil kecurangannya di masa lalu.
Dan selanjutnya ia memohon kepada Abu Nawas agar tidak mencelakakan dirinya lagi. Abunawaspun setuju.

Akhirnya....
Dengan dari hasil penjualan ladang milik pengawal, uangnya dibagikan kepada yang membutuhkan, terutama tetangganya yang miskin tadi.
readmore »»  

Tuesday, November 3, 2015

Memenangkan Lomba Berburu


Pada suatu hari yang cerah, Raja Harun Ar-Rasyid dan para pengawalnya meninggalkan istana untuk berburu. Namun, di tengah perjalanan, salah satu pejabat kerajaan yang bernama Abu Jahil menyusul dengan terengah-engah di atas kudanya.

"Baginda...Baginda...hamba mau mengusulkan sesuatu," katanya Abu Jahil mendekati sang Raja.
"Apa usulmu itu wahai Abu Jahil?" taya Raja.
"Agar acara berburu ini menarik dan disaksikan banyak penduduk, bagaimana kalau kita sayembarakan saja?" ujar Abu Jahil dengan raut wajah serius.
Baginda Raja terdiam sejenak dan mengangguk-angguk.
"Hamba ingin beradu ketangkasan dengan Abu Nawas, dan nanti pemenangnya akan mendapatkan sepundi uang emas. Tapi, kalau kalah, hukumannya adalah dengan memandikan kuda-kuda istana selama 1 bulan," tutur Abu Jahil meyakinkan Raja.

Akhirnya sang Raja menyetujui usulan Abu Jahil tersebut. Hitung-hitung sayembara itu akan memberikan hiburan kepadanya.
Maka, dipanggillah Abu Nawas untuk menghadap, dan setelah menghadap Raja Harun, Abu Nawas pun diberi petunjuk panjang lebar.
Pada awalnya, Abu Nawas menolak sayembara tersebut karena ia tahu bahwa semua ini adalah akal bulus dari Abu Jahil yang ingin menyingkirkannya dari istana. Tapi Baginda Raja Harun memaksa dan Abu Nawas tidak bisa menolak.

Abu Nawas berpikir sejenak. Ia tahu kalau Abu Jahil sekarang diangkat menjadi pejabat istana. Ia pasti mengerahkan semua anak buahnya untuk menyumbang seekor binatang buruannya di hutan nanti. Namun , karena kecerdikannya, Abu Nawas malah tersenyum riang.

Abu Jahil yang melihat perubahan raut muka Abu Nawas menjadi penasaran dibuatnya, batinnya berkata mana mungkin Abu Nawas bisa mengalahkan dirinya kali ini.
Akhirnya, Baginda menggiring mereka ke tengah alun-alun istana. Raja dan seluruh rakyat menunggu, siapa yang bakal menjadi pemenang dalam lomba berburu ini.

Terompet tanda mulai adu ketangkasan pun ditiup. Abu Jahil segera memacu kudanya secepat kilat menuju hutan belantara.
Anehnya, Abu Nawas justru sebaliknya, dia dengan santainya menaiki kudanya sehingga para penonton banyak yang berteriak.

Menjelang sore hari, tampaklah kuda Abu Jahil memasuki pintu gerbang istana. Ia pun mendapat sambutan meriah dan tepuk tangan dari rakyat yang menyaksikannya.
Di sisi kanan dan kiri kuda Abu Jahil tampak puluhan hewan yang mati terpanah. Abu Jahil dengan senyum bangga memperlihatkan semua binatang buruannya di tengah lapangan.
"Aku, Abu Jahil berhak memenangkan lomba ini. Lihat..binatang buruanku banyak. Mana mungkin Abu Nawas mengalahkanku?" teriaknya lantang yang membuat para penonton semakin ramai bertepuk tangan.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara kaki kuda Abu Nawas. Semua orang mentertawakan dan meneriakinya karena Abu Nawas tak membawa satu pun binatang buruan di kudanya.
Tapi, Abu Nawas tidak tampak gusar sama sekali. Ia malah tersenyum dan melambaikan tangan.
Baginda Raja menyuruh kepada 2 orang pengawalnya maju ke tengah lapangan dan menghitung jumlah binatang buruan yang didapatkan 2 peserta tersebut.

Dan kesempatan pertama, para pengawal menghitung jumlah binatang hasil buruan dari Abu Jahil.
"Tiga puluh lima ekor kelinci, ditambah lima ekor rusa dan dua ekor babi hutan," kata salah satu pengawal.
"Kalau begitu akulah pemenangnya karena Abu Nawas tak membawa seekor binatangpun," teriak Abu Jahil dengan sombongnya.
"Tenang...tenang...aku membawa ribuan binatang. Jelaslah aku pemenangnya dan engkau wahai Abu Jahil, silahkan memandikan kuda-kuda istana. Menurut aturan lomba, semua binatang boleh ditangkap, yang penting jumlahnya," kata Abu Nawas sambil membuka bambu kuning yang telah diisi dengan ribuan semut merah.

"Jumlahnya sangat banyak Baginda, mungkin ribuan, kami tak sanggup menghitungnya lagi," kata pengawal kerajaan yang menghitung jumlah semut itu.
Melihat kenyataan itu, Abu Jahil tiba-tiba saja jatuh pingsan.

Baginda Raja tertawa terpingkal-pingkal dan langsung memberi hadiah kepada Abu Nawas.
Kecerdikan dan ketulusan hati pasti bisa mengalahkan kelicikan.
readmore »»  

Monday, November 2, 2015

Melarang Rukuk dan Sujud saat shalat


Abu Nawas yang merupakan sahabat setia khalifah Harun Ar-Rasyid, seakan ingin menghukum mati Abu Nawas saja begitu mendengar kabar kalau si Abu Nawas telah banyak menyebarkan fitnah, larangan rukuk serta sujud dalam shalat. Sebuah fatwa yang menggemparkan saat itu di kerajaan yang dipimpin Raja Harun Ar-Rasyid.

"Hmmm...Abu Nawas sudah keterlaluan, bukankah dalam islam fatwa seperti itu menyalahi ajaran islam. Hukumannya adalah penggal kepala," guman Raja Harun Ar-Rasyid.
Sebelum Abu Nawas dipanggil, untung saja salah seorang kawan setia Abu Nawas memberikan saran kepada raja untuk melakukan konfirmasi terlebih dahulu sebelum bertindak.

Akhirnya Abu Nawas dipanggil dan dimintai keterangan terlebih dahulu sebelum dipancung.
"Wahai Abu Nawas, apakah benar engkau berpendapat tidak perlu rukuk dan sujud dalam shalat," tanya Raja.
"Benar, Baginda Raja," jawab Abu Nawas.

Raja Harun kembali bertanya,
"Benarkah engkau berkata kepada masyarakat bahwa Raja Harun suka berfitnah?" tanya Raja.
"Benar Paduka," jawab Abu Nawas.
Sontak saja Raja Harun berteriak dengan keras dan menggelegar.
"Engkau memang pantas dihukum mati karena melanggar syariat islam dan menyebarkan fitnah tentang junjunganmu," teriaknya.
"Tunggu dulu Baginda, memang aku tidak menolak atas dua pendapat tadi, namun sepertinya kabar yang sampai kepada Paduka tidak lengkap dan seolah-olah aku berkata salah, aku merasa seakan difitnah," jelas Abu Nawas membela diri.
"Wahai Abu Nawas, apa maksudmu? Janganlah membela diri, engkau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya," kata baginda.

Abu Nawas segera beranjak dari tempat duduknya.
"Wahai Paduka Raja, aku memang melarang rukuk dan sujud, tapi dalam shalat apa? Waktu itu aku menjelaskan dalam shalat jenazah, yang memang tidak perlu ada rukuk dan sujud," jelas Abu Nawas.

Sang Khalifah Harun Ar-Rasyid mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Abu Nawas. Meski sebelumnya emosinya mulai muncul, namun Raja membenarkan apa yang menjadi pendapat Abu Nawas tersebut.

"Lalu bagaimana tentang fitnah yang engkau iyakan?" tanya Raja.
Oh saat itu aku sedang membacakan arti Surat Al-Anfal ayat 28,

Artinya:
"dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar."

"Nah, sebagai seorang ayah dan anak-anakmu, berarti kamu suka fitnah (ujian) itu," lanjut Abu Nawas.
Begitu mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun Ar-Rasyid tertunduk malu, menyesali dan menyadari.
Rupanya kedekatan Abu Nawas kepada Raja menyulut iri diantara para pembantu lainnya.
Para pembantu raja yang iri ingin memutar balikkan berita, namun berita tersebut akhirnya bisa diredam.
readmore »»