Sunday, November 1, 2015

Malu kepada Pencuri


Abu Nawas diketahui oleh semua orang memang memiliki kebun yang luas, akan tetapi dirinya selalu berusaha tampil sederhana, hal itu ditunjukkan dengan rumahnya yang hanya beralaskan ubin sederhana dan tak tampak barang-barang mewah semacam guci keramik ataupun benda berharga lainnya.

Tapi entahlah, apa yang membuat seseorang berusaha masuk ke dalam dengan maksud mendapatkan benda-benda berharga. Dengan langkah perlahan, si pencuri masuk ke rumah Abu Nawas melalui pintu belakang secara diam-diam.

Abu Nawas Bersembunyi

Ya ampun....si pencuri berhasil masuk ke dalam rumah Abunawas dan langsung menuju ruang tengahnya. Dengan sigap, pencuri yang beraksi sendirian tersebut lantas memandangi satu persatu barang berharga yang ada di ruangan. Pencuri tersebut langsung mengaduk-aduk isi rumah Abu Nawas.

Seperti kebanyakan para pencuri lainnya, si pencuri juga mencari uang atau pun barang berharga yang dimiliki oleh Abu Nawas. Dia membuka lemari, laci-laci, mencari di kolong-kolong, dan di tempat lainnya. Tapi ia tidak menemukan satu pun barang berharga yang dimiliki oleh Abu Nawas.

Semua bagian ruangan di rumah Abu Nawas pun diperhatikannya dengan baik-baik. Setiap sudut ruangan pun tak luput dari pandangannya demi mendapatkan barang berharga milik Abu Nawas.
Tapi tampaknya gerak-gerik si pencuri ini diketahui oleh Abu Nawas.
Hanya saja, mengetahui rumahnya didatangi pencuri, Abu Nawas bukannya berteriak minta tolong, dirinya malah bersembunyi di sebuah kotak besar yang berada di sudut ruangan dengan harapan si pencuri tidak mengetahui keberadaannya.

Tangan Hampa

Si pencuri ini sangat leluasa mencari barang berharga di rumah Abu Nawas, namun hampir selama 1 jam si pencuri tidak menemukan satu barang pun yang berharga.
Pencuri hampir saja menyerah dan memutuskan untuk keluar dari rumah Abu Nawas tersebut, tapi tiba-tiba matanya tertuju pada kotak besar yang terletak di sudut ruangan kamar Abu Nawas.

Si pencuri sangat senang karena dia yakin kalau dalam kotak itulah disimpan harta benda yang dia cari.
Dalam angan-angannya, di dalam kotak besar tersebut tersimpan beberapa batang emas ataupun beberapa butir mutiara yang jika dijual akan menghasilkan banyak uang yang dapat digunakannya untuk berfoya-foya.

Walaupun kotak besar itu terkunci kuat dari dalam, tapi dengan kekuatan penuh, pencuri itu berhasil membuka kotak tersebut.
Hiyaa...pencuri dan Abu Nawas saling bertatapan muka dan kaget satu sama lain, dan pencuri sekaligus kecewa karena di dalam kotak besar itu juga tidak terdapat apa-apa kecuali Abu Nawas yang meringkuk di dalamnya.

"Hei...apa yang kau lakukan di dalam situ?" tanya si pencuri.
"Aku bersembunyi darimu," jawab Abu Nawas dengan malu.
"Memangnya kenapa?" tanya pencuri lagi.
"Aku malu kepadamu, karena aku tak punya apapun yang dapat kuberikan kepadamu. Itulah alasan kenapa aku bersembunyi di dalam kotak ini," jawab Abu Nawas lagi.

Setelah mendapat jawaban tersebut, si pencuri pun pergi meninggalkan rumah Abu Nawas begitu saja dengan tangan hampa, dengan perasaan kecewa dan heran, kenapa si Abu Nawas yang memiliki kebun luas kok bisanya tidak memiliki satupun barang berharga yang dimiliki.
Itulah Abu Nawas, dia tampil dengan sangat sederhana dalam kehidupannya namun dia selalu bersyukur kepada Allah SWT karena dia yakin kalau yang orang yang lebih fakir dari dia masih banyak.
readmore »»  

Saturday, October 31, 2015

Kuah dibalas Makjun


Di mata Khalifah Harun al-Rasyid figur Abu Nawas memang lihai, dia tidak hanya lucu tetapi juga bijaksana sehingga tidak dapat dipandang enteng. Di satu pihak hal itu sangat membanggakan khalifah, tetapi di lain pihak, sangat menjengkelkannya, karena ia suka kurang ajar dan tidak tahu diri. Oleh karena itu baginda tidak pernah berhenti memeras otak untuk dapat membalas Abu Nawas.

Pada suatu hari di bulan Rabiulawal, baginda khalifah tersenyum simpul sendiri sambil bergumam, “Awas kau, Abu Nawas, kali ini pasti kena.”
Seperti biasa setiap bulan Rabiulawal, Sultan Harun Al-Rasyid menyelenggarakan acara Maulid Nabi di istana. Pada saat itu semua pembesar negeri hadir termasuk putra-putra mahkota dari negeri-negeri sekitarnya, tapi Abu Nawas tidak tampak.
“Panggil dia kemari,” perintah khalifah kepada punggawa.

Setelah Abu Nawas datang menghadap, dimulailah acara hari itu. Semua hadirin dipersilahkan berdiri, kemudian masing-masing disirami air mawar yang menebarkan bau sangat harum, kecuali Abu Nawas. Ia disiram dengan air kencing.
Sadarlah Abu Nawas, bahwa dia dipermalukan khalifah didepan para pembesar negeri. Ia bungkam seribu basa, namun di dalam hati ia berkata, “Oke, khalifah, hari ini kau beri aku kuah, esok akan kubalas kamu dengan isinya.”

Selesai upacara, semua orang pamitan kepada baginda dan pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan Abu Nawas.
Sejak itu Abu Nawas tidak pernah menginjakkan kakinya ke Istana. Tak kurang khalifah pun rindu berat kepadanya. Karena bagaimanapun Abu Nawas selalu dapat menghibur hatinya. Ada saja celotehan-celotehan Abu Nawas yang membuat suasana balairung jadi hidup.

Ketika khalifah memanggilnya, Abu Nawas tidak bersedia memenuhi panggilan itu, dengan alasan sakit, meski panggilan tersebut disampaikan terus menerus. Setiap kali punggawa datang setiap kali itu pula Abu Nawas bilang sakitnya makin serius.
Baginda pun khawatir dengan sakitnya Abu Nawas, maka ditengoknya Abu Nawas ke rumahnya di iringi beberapa orang petinggi kerajaan.

Mendengar khalifah menuju ke rumahnya, Abu Nawas buru-buru pasang aksi. Mata terpejam, badan tergeletak lemah lunglai. Namun sebelum itu ia telah menyuruh istrinya menyiapkan obat makjun, ramuan obat yang dibuat seperti dodol bulat, dan dua butir di antaranya dibubuhi tinja. Abu Nawas menelan sebutir obat itu ketika baginda sudah sampai di depannya.

“Hai Abu Nawas, apa yang kamu telan itu?” tanya khalifah.
“Inilah yang disebut obat makjun,” jawab Abu Nawas masih dalam posisi telentang. “Resepnya hamba peroleh tadi malam lewat mimpi. Seorang tua menghadap hamba dan berpesan agar obat makjun ini hamba telan dua butir, niscaya sembuh,” setelah Abu Nawas menelan sebutir lagi dan tampak badannya segar layaknya orang sembuh dari sakit.

“Kalau begitu aku juga mau makan obat makjun itu,” kata khalifah.
“Baiklah, tuanku,” kata Abu Nawas. “Bila paduka akan menelan obat ini, hendaklan berbaring seperti hamba sekarang ini, tidak boleh sambil duduk, apalagi dengan berdiri.”

Maka baginda pun berbaring.
“Pejamkan mata tuanku,” kata Abu Nawas.
Begitu mata Sultan terpejam, Abu Nawas cepat-cepat memasukkan butiran makjun itu ke mulut khalifah.
Tiba-tiba khalifah bangkit karena obat itu menyangkut di batang tenggorokannya. Sambil membelalakkan matanya, Sultan berkata keras-keras. “Hai, Abu Nawas, kamu beri aku makan tinja ya?”

Maka Abu Nawas pun menghormat sambil berkata, “Dulu baginda memberi hamba kuahnya, sekarang hamba memberi baginda isinya. Jikalau baginda tidak memberi hamba uang seratus dirham, kejadian ini akan hamba ceritakan kepada khalayak ramai.”

“Diam kamu, jangan ngomong kepada siapa-siapa, nanti ku beri kau uang seratus dirham ,” kata khalifah.
Setelah itu khalifah dan semua pengiringnya kembali ke Istana, menyiapkan pundi-pundi berisi uang seratus dirham.
readmore »»  

Friday, October 30, 2015

Khutbah Jum'at Abu Nawas


Abu Nawas dikenal sebagai mubaligh oleh tetangga dan warga sekitarnya, dan tak jarang ada orang yang berkunjung ke rumahnya hanya sekedar bersilaturrahmi dan meminta petunjuk agar usaha yang dijalankannya berjalan lancar dan diridhai Allah SWT.

Namun satu hal pesan dari Abu Nawas ini, bahwa Abu Nawas tak bisa memberikan janji, hanya saja dirinya mengingatkan agar selalu ingat kepada Allah SWT dengan jalan bersedekah.

Hari Jumat telah tiba, Abu Nawas yang ditunjuk menjadi imam sekaligus khatib untuk memberikan ceramah pun bersiap berangkat ke masjid.
Abu Nawas segera mandi dan berpakaian rapi.
Setelah berpamitan dengan istrinya, Abu Nawas lalu melangkahkan kakinya menuju masjid.

Tak lama kemudian, terdengar suara adzan.
Umat Islam khususnya laki-laki berbondong-bondong menuju masjid dan meninggalkan segala jenis aktifitasnya.
Para warga sangat senang dan antusias sekali karena biasanya ceramah dari Abu Nawas ini sangat sesuai dengan situasi terkini.

Namun belum lama Abu Nawas berkhutbah, dilihatnya banyak para jamaah banyak yang mengantuk, bahkan ada yang tertidur.
Melihat hal itu, Abu Nawas berteriak,
"Api Api Api," ujar Abu Nawas dengan keras.
Kontan saja para jamaah terbangun kaget, menoleh kiri dan kanan mendengar teriakan Abu Nawas itu.
Sebagian malah ada yang hanya saling pandang saja.

"Dimana apinya, dimana," teriak jamaah.
Abu Nawas yang melihat para jamaah terbangun dan panik, lantas Abu Nawas meneruskan khutbahnya tanpa peduli pertanyaan para jamaah mengenai letak apinya.
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah," kata Abu Nawas dalam khutbahnya.
Setelah menyampaikan khutbahnya, Abu Nawas segera menutup bagian kedua khutbah dengan berdoa.
Sesaat kemudian, Abu Nawas kemudian memimpin shalat Jumat dengan khusyuk diikuti oleh para jamaah.
Para Jamaah tersadar dan masih ingat akan Api Neraka yang diucapkan oleh Abu Nawas tadi.
readmore »»  

Thursday, October 29, 2015

Kaya tanpa Bekerja


Kisah Abu Nawas kali ini menceritakan tentang petualangan Abu Nawas yang kaya tanpa bekerja.

Sekilas Rumah Tangga Abu Nawas.

Kehidupan Abu Nawas memang tak seberuntung kawan-kawannya yang lain ataupun para saudagar yang pernah ditemuinya.

Abu Nawas hidup dalam rumah yang sangat sederhana dan tidak memiliki harta benda yang melimpah ruah. Walau pun begitu Abu Nawas selalu ikhlas dan mampu melewati setiap rintangan yang dijumpai dalam kehidupannya.

Abu Nawas tinggal serumah bersama dengan seorang istri.
Abu Nawas dapat pula meyakinkan istrinya bahwa akan selalu ada jalan bagi mereka yang ikhlas menjalani rintangan yang diberikan Allah SWT.

BERDOA.

Suatu hari istri Abu Nawas mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Dirinya mengaku tak kuasa lagi dengan beban hidup yang ditanggungnya.
Istri Abu Nawas mengeluh karena suaminya tak memiliki penghasilan sehingga tak mampu memberinya nafkah.
"Suamiku, kapan kau berikan sebuah gaun indah. Hidupmu hanya kau habiskan untuk berdoa saja," ucap istri Abu Nawas.
"Tapi semuanya kulakukan dengan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT," jawab Abu Nawas.
"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah SWT," sahut istri Abu Nawas.

Seketika itu juga, Abu Nawas langsung pergi ke pekarangan rumahnya.
Dengan berbekal alat peribadatan yang lengkap, Abu Nawas mulai bersujud untuk menyampaikan permohonan-permohonannya kepada Allah SWT.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" ujar Abu Nawas dengan suara lantang dan dilakukannya berulang-ulang.

Rupanya suara Abu Nawas terdengar oleh salah seorang tetangganya yang sedang beristirahat di depan rumah.
Tak lama kemudian, tetangga Abu Nawas memiliki keinginan untuk berbuat usil dengan melemparkan seratus keping perak ke kepala Abu Nawas.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" teriak Abu Nawas untuk kesekian kalinya dan diikuti sebuah koin seratus perak jatuh tepat di atas kepalanya.
Abu Nawas yang terkejut, langsung lari ke dalam rumah sambil membawa uang yang baru saja di dapatkan kepada istrinya.

"Istriku, aku memang wali Allah dan aku baru saja mendapatkan upah dari Allah SWT," tutur Abu Nawas.
Tapi tetangga Abu Nawas tadi tidak terima kalau uang yang dilemparkannya tadi menjadi milik Abu Nawas.

Oleh karena itu, pintu rumah Abu Nawas langsung digedor oleh tetangganya tadi.
"Hai Abu Nawas, kembalikan uang yang baru saja aku lemparkan tadi. Itu milikku!" ucap tetangga itu.

MENANG DALAM SIDANG.

"Bagaimana mungkin uang itu milikmu.
Aku memohon kepada Allah dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah," jawab Abu Nawas.
Tetangga yang usil tadi tidak terima dan mengajak Abu Nawas agar diselesaikan dipengadilan.

Tak lama kemudian mereka sudah di pengadilan dan menjalani sidang.
"Apa pembelaanmu wahai Abu Nawas?" tanya Hakim.
"Tetangga saya ini gila Tuan Hakim.
Ia pikir semua yang ada di dunia ini adalah miliknya.
Coba saja tanyakan misalnya jubah saya, kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya," jawab Abu Nawas.
"Tapi itu semua memang milikku!" teriak tetangganya yang kaget akan pernyataan Abu Nawas tersebut.
Bagi sang hakim, bukti-bukti yang diterimanya sudah cukup untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Hakim memutuskan bahwa Abu Nawas menang dan uang yang jatuh di kepalanya menjadi miliknya.
readmore »»  

Wednesday, October 28, 2015

Karena Cerdik lolos dari Maut


Pada suatu masa, raja yang memimpin wilayah tempat Abu Nawas tinggal telah terjadi peperangan.
Dengan kemenangan perang tersebut berarti Raja telah memperluas wilayah kekuasaannya.

Walaupun sudah banyak wilayah yang ditundukkan, namun Raja juga ingin menghabisi setiap nyawa para ulama dan kaum cendikiawan yang ada di wilayah barunya.

Ulama Diundang ke Istana.

Raja mengundang para ulama untuk datang ke istananya tanpa terkecuali kemudian dikumpulkan ke aula kerajaan.
Para ulama kebingungan ada apa sebenarnya mereka dikumpulkan.

Tak lama kemudian, Raja muncul dengan mengenakan jubah lengkap dengan membawa sebilah pedang panjang di tangan kanannya.
Raja kemudian melontarkan pertanyaan satu persatu kepada para ulama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja dengan bengis.

Para ulama yang hadir tak bisa menghindari takdir yang telah digariskan.
Dengan pilihan yang diberikan oleh Raja, mereka meninggal dunia satu persatu di tangan Raja yang kejam.

Semua ulama tak memiliki pilihan yang lebih baik, begitu pula dengan jawaban para ulama yang pasrah oleh pilihan yang diberikan Raja. Mereka tak bisa berbuat banyak.

Pertemuan Abu Nawas dan Raja Kali Pertama.

Setelah banyak korban yang berjatuhan, kini tibalah Abu Nawas yang diundang oleh Raja untuk hadir ke istananya.
Ini adalah perjumpaan resmi Abu Nawas yang pertama kalinya dengan sang Raja.

Namun, sebelum mendatangi istana, rupanya Abu Nawas sudah mendengar kabar tentang kekejaman Raja terhadap para ulama.
Tepat di aula ditengah-tengah istana, Raja yang sudah menanti kedatangan Abu Nawas kembali melontarkan pertanyaan yang sama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja.

Abu Nawas mencoba untuk menenangkan diri dan berpikir sejenak.
Tak berapa lama kemudian, dengan kecerdikannya selama ini, Abu Nawas pun menjawab pertanyaan Raja.

"Sesungguhnya, kami para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang yang lalim dan abai.
Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami," jawab Abu Nawas.

Setelah berfikir sejenak, Raja pun mengakui kecerdikan Abu Nawas.
Raja pun akhirnya membebaskan Abu Nawas, begitu pula para ulama lain.
readmore »»  

Tuesday, October 27, 2015

Jumlah Bintang di Langit


Pada suatu hari, ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak. Tak jelas apa yang menuntun ketiga orang bijak tersebut hingga sampailah mereka pada suatu hari di desa Abu Nawas tinggal.

Tanpa basa-basi lagi, dengan alasan waktu yang sangat mendesak, ketiga orang tersebut meminta beberapa warga untuk mengajukan diri agar mau menjawab pertanyaan yang dilemparkan oleh ketiga orang bijak tersebut. Semua pun menggelengkan kepala tanda tak mampu menjawab.

Tanya Jawab

Namun tak lama kemudian, orang-orang desa pun menyodorkan Abu Nawas sebagai wakil orang-orang bijak untuk mewakili desa mereka. Abu Nawas dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa yang menonton percakapan itu seputar tanya jawab.

Orang bijak pertama bertanya kepada Abu Nawas,
"Dimanakah sebenarnya pusat buni?"
"Tepat di bawah telapak kaki saya, Saudara," jawab Abu Nawas.
"Bagaimana bisa Saudara buktikan hal itu?" tanya orang bijak pertama tadi.
"Kalau tidak percaya, ukur saja sendiri," jawab Abu Nawas enteng.

Orang bijak yang pertama tadi diam tak bisa menjawab.

Melihat orang bijak pertama tadi kalah oleh Abu Nawas, tiba giliran orang bijak kedua yang mengajukan pertanyaan.
"Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?" tanyanya.
"Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini," jawab Abu Nawas
"Bagaimana bisa Saudara buktikan tentang hal itu," tanya orang bijak kedua.
"Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada di keledai ini, dan nanti Saudara akan tahu kebenarannya," jawab Abu Nawas dengan enteng tanpa dosa.
"Kalau itu sih bicara ngawur, bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai?" tanya orang bijak kedua lagi.
"Nah...kalau saya ngawur, kenapa Saudara juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit?" sanggah Abu Nawas.
Mendengar jawaban itu, si orang bijak kedua pun tidak bisa melanjutkan pertanyaannya lagi.

Orang Terbijak

Mengetahui kedua temannya tak berdaya atas setiap jawaban yang diberikan oleh Abu Nawas, maka orang bijak yang ketiga pun mengajukan pertanyaan.
Diantara ketiga orang bijak itu, orang ketiga inilah yang katanya paling bijak.
Dirinya benar-benar terusik oleh setiap jawaban cerdik yang diberikan oleh Abu Nawas.

"Tampaknya Saudara tahu banyak mengenai keledai, tapi coba Saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada di ekor keledai itu," tanya orang bijak ketiga itu dengan ketusnya.
"Saya tahu jumlahnya, jumlah bulu yang ada pada ekor keledai saya ini sama dengan jumlah rambut yang ada di janggut Saudara," jawab Abu Nawas dengan ketus pula.
"Bagaimana Saudara bisa buktikan hal itu?" tanya orang bijak ketiga lagi.
"Oh... kalau yang itu sih mudah, begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut Saudara. Nah...kalau sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya yang keliru," jawab Abu Nawas dengan penuh semangat.

Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung yang seperti itu.
Akhirnya orang bijak tersebut kembali ke negeri asalnya, dan sementara itu orang-orang desa yang menyaksikan semakin yakin bahwa Abu Nawas adalah orang terbijak diantara ketiga orang tersebut.
readmore »»  

Monday, October 26, 2015

Ibu Sejati


Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.

Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda pun akhirnya berputus asa.

Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan, Baginda memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada ditempat.

Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.

"Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?" kata kedua perempuan itu saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.

"Sebelum saya mengambil tindakan, apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?"

"Tidak, bayi itu adalah anakku." kata kedua perempuan itu serentak.

"Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata." kata Abu Nawas mengancam.

Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.

"Jangan! tolong jangan dibelah bayi itu! Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu." kata perempuan kedua.

Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsung menyerahkan kepada perempuan kedua. Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih, apalagi di depan mata.

Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Dan sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa.
readmore »»