Saturday, October 31, 2015

Kuah dibalas Makjun


Di mata Khalifah Harun al-Rasyid figur Abu Nawas memang lihai, dia tidak hanya lucu tetapi juga bijaksana sehingga tidak dapat dipandang enteng. Di satu pihak hal itu sangat membanggakan khalifah, tetapi di lain pihak, sangat menjengkelkannya, karena ia suka kurang ajar dan tidak tahu diri. Oleh karena itu baginda tidak pernah berhenti memeras otak untuk dapat membalas Abu Nawas.

Pada suatu hari di bulan Rabiulawal, baginda khalifah tersenyum simpul sendiri sambil bergumam, “Awas kau, Abu Nawas, kali ini pasti kena.”
Seperti biasa setiap bulan Rabiulawal, Sultan Harun Al-Rasyid menyelenggarakan acara Maulid Nabi di istana. Pada saat itu semua pembesar negeri hadir termasuk putra-putra mahkota dari negeri-negeri sekitarnya, tapi Abu Nawas tidak tampak.
“Panggil dia kemari,” perintah khalifah kepada punggawa.

Setelah Abu Nawas datang menghadap, dimulailah acara hari itu. Semua hadirin dipersilahkan berdiri, kemudian masing-masing disirami air mawar yang menebarkan bau sangat harum, kecuali Abu Nawas. Ia disiram dengan air kencing.
Sadarlah Abu Nawas, bahwa dia dipermalukan khalifah didepan para pembesar negeri. Ia bungkam seribu basa, namun di dalam hati ia berkata, “Oke, khalifah, hari ini kau beri aku kuah, esok akan kubalas kamu dengan isinya.”

Selesai upacara, semua orang pamitan kepada baginda dan pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula dengan Abu Nawas.
Sejak itu Abu Nawas tidak pernah menginjakkan kakinya ke Istana. Tak kurang khalifah pun rindu berat kepadanya. Karena bagaimanapun Abu Nawas selalu dapat menghibur hatinya. Ada saja celotehan-celotehan Abu Nawas yang membuat suasana balairung jadi hidup.

Ketika khalifah memanggilnya, Abu Nawas tidak bersedia memenuhi panggilan itu, dengan alasan sakit, meski panggilan tersebut disampaikan terus menerus. Setiap kali punggawa datang setiap kali itu pula Abu Nawas bilang sakitnya makin serius.
Baginda pun khawatir dengan sakitnya Abu Nawas, maka ditengoknya Abu Nawas ke rumahnya di iringi beberapa orang petinggi kerajaan.

Mendengar khalifah menuju ke rumahnya, Abu Nawas buru-buru pasang aksi. Mata terpejam, badan tergeletak lemah lunglai. Namun sebelum itu ia telah menyuruh istrinya menyiapkan obat makjun, ramuan obat yang dibuat seperti dodol bulat, dan dua butir di antaranya dibubuhi tinja. Abu Nawas menelan sebutir obat itu ketika baginda sudah sampai di depannya.

“Hai Abu Nawas, apa yang kamu telan itu?” tanya khalifah.
“Inilah yang disebut obat makjun,” jawab Abu Nawas masih dalam posisi telentang. “Resepnya hamba peroleh tadi malam lewat mimpi. Seorang tua menghadap hamba dan berpesan agar obat makjun ini hamba telan dua butir, niscaya sembuh,” setelah Abu Nawas menelan sebutir lagi dan tampak badannya segar layaknya orang sembuh dari sakit.

“Kalau begitu aku juga mau makan obat makjun itu,” kata khalifah.
“Baiklah, tuanku,” kata Abu Nawas. “Bila paduka akan menelan obat ini, hendaklan berbaring seperti hamba sekarang ini, tidak boleh sambil duduk, apalagi dengan berdiri.”

Maka baginda pun berbaring.
“Pejamkan mata tuanku,” kata Abu Nawas.
Begitu mata Sultan terpejam, Abu Nawas cepat-cepat memasukkan butiran makjun itu ke mulut khalifah.
Tiba-tiba khalifah bangkit karena obat itu menyangkut di batang tenggorokannya. Sambil membelalakkan matanya, Sultan berkata keras-keras. “Hai, Abu Nawas, kamu beri aku makan tinja ya?”

Maka Abu Nawas pun menghormat sambil berkata, “Dulu baginda memberi hamba kuahnya, sekarang hamba memberi baginda isinya. Jikalau baginda tidak memberi hamba uang seratus dirham, kejadian ini akan hamba ceritakan kepada khalayak ramai.”

“Diam kamu, jangan ngomong kepada siapa-siapa, nanti ku beri kau uang seratus dirham ,” kata khalifah.
Setelah itu khalifah dan semua pengiringnya kembali ke Istana, menyiapkan pundi-pundi berisi uang seratus dirham.
readmore »»  

Friday, October 30, 2015

Khutbah Jum'at Abu Nawas


Abu Nawas dikenal sebagai mubaligh oleh tetangga dan warga sekitarnya, dan tak jarang ada orang yang berkunjung ke rumahnya hanya sekedar bersilaturrahmi dan meminta petunjuk agar usaha yang dijalankannya berjalan lancar dan diridhai Allah SWT.

Namun satu hal pesan dari Abu Nawas ini, bahwa Abu Nawas tak bisa memberikan janji, hanya saja dirinya mengingatkan agar selalu ingat kepada Allah SWT dengan jalan bersedekah.

Hari Jumat telah tiba, Abu Nawas yang ditunjuk menjadi imam sekaligus khatib untuk memberikan ceramah pun bersiap berangkat ke masjid.
Abu Nawas segera mandi dan berpakaian rapi.
Setelah berpamitan dengan istrinya, Abu Nawas lalu melangkahkan kakinya menuju masjid.

Tak lama kemudian, terdengar suara adzan.
Umat Islam khususnya laki-laki berbondong-bondong menuju masjid dan meninggalkan segala jenis aktifitasnya.
Para warga sangat senang dan antusias sekali karena biasanya ceramah dari Abu Nawas ini sangat sesuai dengan situasi terkini.

Namun belum lama Abu Nawas berkhutbah, dilihatnya banyak para jamaah banyak yang mengantuk, bahkan ada yang tertidur.
Melihat hal itu, Abu Nawas berteriak,
"Api Api Api," ujar Abu Nawas dengan keras.
Kontan saja para jamaah terbangun kaget, menoleh kiri dan kanan mendengar teriakan Abu Nawas itu.
Sebagian malah ada yang hanya saling pandang saja.

"Dimana apinya, dimana," teriak jamaah.
Abu Nawas yang melihat para jamaah terbangun dan panik, lantas Abu Nawas meneruskan khutbahnya tanpa peduli pertanyaan para jamaah mengenai letak apinya.
"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah," kata Abu Nawas dalam khutbahnya.
Setelah menyampaikan khutbahnya, Abu Nawas segera menutup bagian kedua khutbah dengan berdoa.
Sesaat kemudian, Abu Nawas kemudian memimpin shalat Jumat dengan khusyuk diikuti oleh para jamaah.
Para Jamaah tersadar dan masih ingat akan Api Neraka yang diucapkan oleh Abu Nawas tadi.
readmore »»  

Thursday, October 29, 2015

Kaya tanpa Bekerja


Kisah Abu Nawas kali ini menceritakan tentang petualangan Abu Nawas yang kaya tanpa bekerja.

Sekilas Rumah Tangga Abu Nawas.

Kehidupan Abu Nawas memang tak seberuntung kawan-kawannya yang lain ataupun para saudagar yang pernah ditemuinya.

Abu Nawas hidup dalam rumah yang sangat sederhana dan tidak memiliki harta benda yang melimpah ruah. Walau pun begitu Abu Nawas selalu ikhlas dan mampu melewati setiap rintangan yang dijumpai dalam kehidupannya.

Abu Nawas tinggal serumah bersama dengan seorang istri.
Abu Nawas dapat pula meyakinkan istrinya bahwa akan selalu ada jalan bagi mereka yang ikhlas menjalani rintangan yang diberikan Allah SWT.

BERDOA.

Suatu hari istri Abu Nawas mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Dirinya mengaku tak kuasa lagi dengan beban hidup yang ditanggungnya.
Istri Abu Nawas mengeluh karena suaminya tak memiliki penghasilan sehingga tak mampu memberinya nafkah.
"Suamiku, kapan kau berikan sebuah gaun indah. Hidupmu hanya kau habiskan untuk berdoa saja," ucap istri Abu Nawas.
"Tapi semuanya kulakukan dengan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT," jawab Abu Nawas.
"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah SWT," sahut istri Abu Nawas.

Seketika itu juga, Abu Nawas langsung pergi ke pekarangan rumahnya.
Dengan berbekal alat peribadatan yang lengkap, Abu Nawas mulai bersujud untuk menyampaikan permohonan-permohonannya kepada Allah SWT.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" ujar Abu Nawas dengan suara lantang dan dilakukannya berulang-ulang.

Rupanya suara Abu Nawas terdengar oleh salah seorang tetangganya yang sedang beristirahat di depan rumah.
Tak lama kemudian, tetangga Abu Nawas memiliki keinginan untuk berbuat usil dengan melemparkan seratus keping perak ke kepala Abu Nawas.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" teriak Abu Nawas untuk kesekian kalinya dan diikuti sebuah koin seratus perak jatuh tepat di atas kepalanya.
Abu Nawas yang terkejut, langsung lari ke dalam rumah sambil membawa uang yang baru saja di dapatkan kepada istrinya.

"Istriku, aku memang wali Allah dan aku baru saja mendapatkan upah dari Allah SWT," tutur Abu Nawas.
Tapi tetangga Abu Nawas tadi tidak terima kalau uang yang dilemparkannya tadi menjadi milik Abu Nawas.

Oleh karena itu, pintu rumah Abu Nawas langsung digedor oleh tetangganya tadi.
"Hai Abu Nawas, kembalikan uang yang baru saja aku lemparkan tadi. Itu milikku!" ucap tetangga itu.

MENANG DALAM SIDANG.

"Bagaimana mungkin uang itu milikmu.
Aku memohon kepada Allah dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah," jawab Abu Nawas.
Tetangga yang usil tadi tidak terima dan mengajak Abu Nawas agar diselesaikan dipengadilan.

Tak lama kemudian mereka sudah di pengadilan dan menjalani sidang.
"Apa pembelaanmu wahai Abu Nawas?" tanya Hakim.
"Tetangga saya ini gila Tuan Hakim.
Ia pikir semua yang ada di dunia ini adalah miliknya.
Coba saja tanyakan misalnya jubah saya, kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya," jawab Abu Nawas.
"Tapi itu semua memang milikku!" teriak tetangganya yang kaget akan pernyataan Abu Nawas tersebut.
Bagi sang hakim, bukti-bukti yang diterimanya sudah cukup untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Hakim memutuskan bahwa Abu Nawas menang dan uang yang jatuh di kepalanya menjadi miliknya.
readmore »»  

Wednesday, October 28, 2015

Karena Cerdik lolos dari Maut


Pada suatu masa, raja yang memimpin wilayah tempat Abu Nawas tinggal telah terjadi peperangan.
Dengan kemenangan perang tersebut berarti Raja telah memperluas wilayah kekuasaannya.

Walaupun sudah banyak wilayah yang ditundukkan, namun Raja juga ingin menghabisi setiap nyawa para ulama dan kaum cendikiawan yang ada di wilayah barunya.

Ulama Diundang ke Istana.

Raja mengundang para ulama untuk datang ke istananya tanpa terkecuali kemudian dikumpulkan ke aula kerajaan.
Para ulama kebingungan ada apa sebenarnya mereka dikumpulkan.

Tak lama kemudian, Raja muncul dengan mengenakan jubah lengkap dengan membawa sebilah pedang panjang di tangan kanannya.
Raja kemudian melontarkan pertanyaan satu persatu kepada para ulama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja dengan bengis.

Para ulama yang hadir tak bisa menghindari takdir yang telah digariskan.
Dengan pilihan yang diberikan oleh Raja, mereka meninggal dunia satu persatu di tangan Raja yang kejam.

Semua ulama tak memiliki pilihan yang lebih baik, begitu pula dengan jawaban para ulama yang pasrah oleh pilihan yang diberikan Raja. Mereka tak bisa berbuat banyak.

Pertemuan Abu Nawas dan Raja Kali Pertama.

Setelah banyak korban yang berjatuhan, kini tibalah Abu Nawas yang diundang oleh Raja untuk hadir ke istananya.
Ini adalah perjumpaan resmi Abu Nawas yang pertama kalinya dengan sang Raja.

Namun, sebelum mendatangi istana, rupanya Abu Nawas sudah mendengar kabar tentang kekejaman Raja terhadap para ulama.
Tepat di aula ditengah-tengah istana, Raja yang sudah menanti kedatangan Abu Nawas kembali melontarkan pertanyaan yang sama.

"Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim?"
"Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan aku gantung, sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan aku penggal," ujar Raja.

Abu Nawas mencoba untuk menenangkan diri dan berpikir sejenak.
Tak berapa lama kemudian, dengan kecerdikannya selama ini, Abu Nawas pun menjawab pertanyaan Raja.

"Sesungguhnya, kami para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang yang lalim dan abai.
Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami," jawab Abu Nawas.

Setelah berfikir sejenak, Raja pun mengakui kecerdikan Abu Nawas.
Raja pun akhirnya membebaskan Abu Nawas, begitu pula para ulama lain.
readmore »»  

Tuesday, October 27, 2015

Jumlah Bintang di Langit


Pada suatu hari, ada tiga orang bijak yang pergi berkeliling negeri untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang mendesak. Tak jelas apa yang menuntun ketiga orang bijak tersebut hingga sampailah mereka pada suatu hari di desa Abu Nawas tinggal.

Tanpa basa-basi lagi, dengan alasan waktu yang sangat mendesak, ketiga orang tersebut meminta beberapa warga untuk mengajukan diri agar mau menjawab pertanyaan yang dilemparkan oleh ketiga orang bijak tersebut. Semua pun menggelengkan kepala tanda tak mampu menjawab.

Tanya Jawab

Namun tak lama kemudian, orang-orang desa pun menyodorkan Abu Nawas sebagai wakil orang-orang bijak untuk mewakili desa mereka. Abu Nawas dipaksa berhadapan dengan tiga orang bijak itu dan di sekeliling mereka berkumpullah orang-orang desa yang menonton percakapan itu seputar tanya jawab.

Orang bijak pertama bertanya kepada Abu Nawas,
"Dimanakah sebenarnya pusat buni?"
"Tepat di bawah telapak kaki saya, Saudara," jawab Abu Nawas.
"Bagaimana bisa Saudara buktikan hal itu?" tanya orang bijak pertama tadi.
"Kalau tidak percaya, ukur saja sendiri," jawab Abu Nawas enteng.

Orang bijak yang pertama tadi diam tak bisa menjawab.

Melihat orang bijak pertama tadi kalah oleh Abu Nawas, tiba giliran orang bijak kedua yang mengajukan pertanyaan.
"Berapa banyak jumlah bintang yang ada di langit?" tanyanya.
"Bintang-bintang yang ada di langit itu jumlahnya sama dengan rambut yang tumbuh di keledai saya ini," jawab Abu Nawas
"Bagaimana bisa Saudara buktikan tentang hal itu," tanya orang bijak kedua.
"Nah, kalau tidak percaya, hitung saja rambut yang ada di keledai ini, dan nanti Saudara akan tahu kebenarannya," jawab Abu Nawas dengan enteng tanpa dosa.
"Kalau itu sih bicara ngawur, bagaimana orang bisa menghitung bulu keledai?" tanya orang bijak kedua lagi.
"Nah...kalau saya ngawur, kenapa Saudara juga mengajukan pertanyaan itu, bagaimana orang bisa menghitung bintang di langit?" sanggah Abu Nawas.
Mendengar jawaban itu, si orang bijak kedua pun tidak bisa melanjutkan pertanyaannya lagi.

Orang Terbijak

Mengetahui kedua temannya tak berdaya atas setiap jawaban yang diberikan oleh Abu Nawas, maka orang bijak yang ketiga pun mengajukan pertanyaan.
Diantara ketiga orang bijak itu, orang ketiga inilah yang katanya paling bijak.
Dirinya benar-benar terusik oleh setiap jawaban cerdik yang diberikan oleh Abu Nawas.

"Tampaknya Saudara tahu banyak mengenai keledai, tapi coba Saudara katakan kepada saya berapa jumlah bulu yang ada di ekor keledai itu," tanya orang bijak ketiga itu dengan ketusnya.
"Saya tahu jumlahnya, jumlah bulu yang ada pada ekor keledai saya ini sama dengan jumlah rambut yang ada di janggut Saudara," jawab Abu Nawas dengan ketus pula.
"Bagaimana Saudara bisa buktikan hal itu?" tanya orang bijak ketiga lagi.
"Oh... kalau yang itu sih mudah, begini, Saudara mencabut selembar bulu dari ekor keledai saya, dan kemudian saya mencabut sehelai rambut dari janggut Saudara. Nah...kalau sama, maka apa yang saya katakan itu benar, tetapi kalau tidak, saya yang keliru," jawab Abu Nawas dengan penuh semangat.

Tentu saja orang bijak yang ketiga itu tidak mau menerima cara menghitung yang seperti itu.
Akhirnya orang bijak tersebut kembali ke negeri asalnya, dan sementara itu orang-orang desa yang menyaksikan semakin yakin bahwa Abu Nawas adalah orang terbijak diantara ketiga orang tersebut.
readmore »»  

Monday, October 26, 2015

Ibu Sejati


Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu.

Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang amat halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda pun akhirnya berputus asa.

Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan, Baginda memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada ditempat.

Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja.

"Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?" kata kedua perempuan itu saling memandang. Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog.

"Sebelum saya mengambil tindakan, apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?"

"Tidak, bayi itu adalah anakku." kata kedua perempuan itu serentak.

"Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata." kata Abu Nawas mengancam.

Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.

"Jangan! tolong jangan dibelah bayi itu! Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu." kata perempuan kedua.

Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsung menyerahkan kepada perempuan kedua. Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih, apalagi di depan mata.

Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Dan sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa.
readmore »»  

Sunday, October 25, 2015

Harus bisa Bertelur


Sudah bertahun lamanya Baginda ini selalu punya banyak ide untuk menjebak Abu Nawas dan ingin memenjarakannya, namun selalu saja gagal.
Kali ini Baginda punya siasat jitu dan dia bisa memastikan kalau Abunawas akan terperangkap dalam permainannya.

Suatu sore ketika Baginda berendam di dalam kolam, ia berkata kepada para menterinya.
"Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah itu wahai paduka yang mulia?" tanya salah seorang menteri.
"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya ingin kalian datang lebih dini besok sore ke kolam ini. Jangan lupa datanglah sebelum Abunawas datang, karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita," jelas Baginda.

Akhirnya keesokan harinya Baginda dan para menteri telah dulu datang sebelum Abu Nawas.
Baginda membagikan 20 butir telur ayam kepada para menterinya, sedangkan yang satu untuk Baginda sendiri. Pengarahan telah diberikan dan dilaksanakan oleh para menteri untuk menjebak Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas datang, Baginda beserta para menteri sudah terlebih dahulu berendam di dalam kolam.
Abu Nawas disuruh ikut berendam saat itu juga.
Abu Nawas harap-harap cemas, kira-kira permainan apa yang akan dia hadapi, mungkin permainan kali ini akan lebih berat karena Baginda tidak memberinya tenggang waktu untuk berfikir. Begitu guman Abu Nawas.

"Hai Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami."
"Permainan apakah itu Paduka yang mulia?" tanya Abu Nawas.
"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang.
Sebagai manusia kita harus bisa dengan cara kita masing-masing," kata Baginda senyum.
"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia," kata Abu Nawas takut.
"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam, dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum," jelas Baginda.

Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya murung dan ia yakin dirinya tidak dapat bertelur.
"Nah sekarang apalagi yang kita tunggu, kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing," perintah Baginda.

Baginda dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas sambil menunjukkan telur.
Abu Nawas masih saja di dalam kolam untuk bertelur, hiks hiks...
Abu Nawas sadar kalau Baginda dan para menteri telah mempersiapkan telur untuk masing-masing.
Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur.
Tak kuat menyelam terlalu lama, Abu Nawas akhirnya naik ke permukaan dan menepi.

baginda langsung menghampirinya.
"Ampun Tuanku yang mulia, hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri," kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu engkau harus dihukum," kata Baginda bangga.
"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia," kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi hai Abu Nawas," tanya Baginda tidak sabar.
"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hambba membela diri, sebenarnya kalau hamba tentu mampu, akan tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bisa bertelur.
Hanya Ayam betina saja yang bisa bertelur," jelas Abu Nawas.
Tentu saja Raja tidak bisa berkata apa-apa, wajahnya terlihat malu, jadi semua yang membawa telur tadi ayam betina donk jadinya...
Abu Nawas memang licin.
Karena malu, Raja dan para menteri segera berpakaian, kemudian langsung menuju istana tanpa sepatah kata.

Abu Nawas sendiri tak mengira kalau dirinya bakal lolos dari jebakan Baginda yang satu ini.
readmore »»  

Saturday, October 24, 2015

Hakim bertobat berkat Hadiah


Pada suatu waktu kerajaan yang dipimpin oleh Raja Harun Al Rasyid ini mengalami krisis keadilan.
Banyak hakim yang adil meninggal dunia dan raja salah dalam menunjuk orang sebagai hakim pengganti. Akibatnya hakim pengganti itu tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat atas keadilan.

Para hakim pengganti itu berlaku menyimpang dan sama sekali tidak mengetahui hukum-hukum agama, sehingga tidak aneh jika kemudian muncul berbagai kebobrokan dan penyimpangan hukum yang dilakukan para hakim.

Tiadanya keadilan dan kebenaran, semakin meluasnya korupsi dan penyalahgunaan hukum seperti telah menjadi hal yang biasa.
Dalam kekuasaan tiran, ucapan penguasalah yang menjadi hukum dan kepentingan pribadi di atas segala-galanya.

Dalam hal ini Abu Nawas turut prihatin.
Dia pun lantas berinisiatif menyadarkan para hakim itu dengan caranya sendiri.

Pada suatu hari Abu Nawas mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian.
Namun hakim di kotanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu.
Keadaan ini terus berlangsung seperti itu sehingga Abu Nawas menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok (disuap).

Akan tetapi Abu Nawas mengetahui bahwa menyuap adalah hal yang diharamkam oleh agama.
Maka Abu Nawas pun memutuskan untuk melemparkan keputusan pada si hakim sendiri.

Abu Nawas menyiapkan sebuah gentong.
Gentong itu diisi dengan kotoran sapi hingga hampir penuh.
Kemudian di atasnya Abu Nawas mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya.

Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim.
Saat itu juga kesibukan sang hakim langsung hilang dan punya waktu untuk membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian Abu Nawas.

"Tuan Hakim, apakah pantas Tuan mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan?" tanya Abu Nawas mengelabuhi.
Sang hakim tersenyum sambil mengamati gentong itu.
"Ah...engkau jangan terlalu dalam memikirkannya," kata si hakim mulai terjebak tipu muslihat Abu Nawas.

Hakim tersebut lantas mencolek sedikit mentega dengan ujung jarinya lalu mencicipinya.
"Wah enak benar mentega ini." kata sang hakim.
"Ya..sesuai dengan ucapan Tuan, jangan terlalu dalam mencolek menteganya," jawab Abu Nawas.
Abu Nawas pun segera meninggalkan kantor sang hakim setelah mendapatkan tanda tangan si hakim.

Hakim lantas pulang dengan hati yang riang gembira.
Dibawanya gentong itu lantas di panggillah istri dan anak-anaknya untuk bersama-sama makan pemberian Abu Nawas itu.

Awalnya mereka sekeluarga sangat menikmati mentega itu.
Namun begitu lapisan mentega itu habis, mereka mulai memakan kotoran sapi.
hehehe...dasar hakim zalim.

"Upsss...apa ini...baunya sangat busuk seperti kotoran hewan." kata hakim.
Hakim lantas teringat Abu Nawas.
Setelah berfikir panjang, ia baru sadar bahwa semua itu adalah ulah si Abu Nawas yang ingin menyadarkannya utnuk meninggalkan praktek suap menyuap dan menegakkan keadilan.

Hakim itu kemudian merasa sangat bersalah atas sikapnya selama ini.
Ia lalu mendatangi rumah Abu Nawas dan meminta maaf atas kekhilafannya.
Di hadapan Abu Nawas ia berjanji akan menjadi Hakim Yang Adil.
readmore »»  

Friday, October 23, 2015

Hadiah bagi Tebakan Jitu


Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhir-akhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.

"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas ingin tahu.

"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." kata Baginda.

"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba."

"Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?" tanya Baginda.

"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, "Tuanku yang mulia," lanjut Abu Nawas 'ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu dimana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas."

Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya: bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"

"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.

"Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda heran.

"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak
seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." jawab Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.
readmore »»  

Thursday, October 22, 2015

Dulu Telur apa Ayam


Karena melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum kegirangan.
Baginda memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan akan mengadakan sayembara untuk umum.

Sayembara itu adalah berupa pertanyaan yang mudah akan tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal.
Barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu, maka akan mendapat imbalan yang sangat menggiurkan, yaitu satu pundi emas.
Akan tetapi bila tidak bisa menjawab maka akan di hukum.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu, terutama orang-orang miskin.
Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur karena imbalannya besar.
Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tidak mengherankan apabila pesertanya hanya 4 orang saja.
Dan salah satunya adalah Abu Nawas.

Aturan main sayembara itu ada 2:
1. Jawaban harus masuk akal.
2. Peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.

Pada hari yang telah ditentukan, peserta sudah siap di depan panggung.
Baginda duduk di atas panggung dan memanggil peserta pertama.

Peserta Pertama.
Baginda bertanya,
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?"
"Telur." jawab peserta pertama.
"Apa alasannya?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." jelas peserta pertama.
"Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda.

Peserta pertama pucat pasi tak mampu menjawabnya.
Wajahnya mendadak berubah putih seperti kapas.
Ia tidak bisa menjawab.
Tanpa ampun lagi ia dimasukkan ke dalam penjara.

Peserta Kedua.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan." jawab peserta kedua.
"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.
Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa di erami." jelas peserta kedua.

"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan.
Peserta kedua ini bingung menjawabnya dan akhirnya dijebloskan juga ke penjara.

Peserta Ketiga.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur." jawab peserta ketiga.
"Sebutkan alasanmu." kata Baginda.
"Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan.

"Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang, sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.
"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan, telurnya di erami sendiri.
Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan.
Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." jelas peserta ketiga.

"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?" sanggah Baginda.
Peserta ketiga pun tidak mampu menjawab sanggahan dari baginda.
Ia pun dijebloskan ke dalam penjara.

Peserta Keempat.
Kini tiba giliran peserta yang terakhir, yaitu Abu Nawas.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam." jawab Abu Nawas.
"Coba terangkan alasanmu secara logis." kata Baginda ingin tahu.
"Ayam bisa mengenal telur, sedangkan sebaliknya telur tidak bisa mengenal ayam." jelas Abu Nawas.

Baginda hanya bisa geleng-geleng saja dengan jawaban Abu Nawas ini sambil berfikir kok bisa jawabannya kenal mengenal..
Kali ini Baginda tidak menyanggah alasan Abu Nawas.
readmore »»  

Wednesday, October 21, 2015

Do'a Abu Nawas untuk meminta Jodoh


Sehebat apapun kecerdasan Abu Nawas, ia tetaplah manusia biasa.
Kala masih bujangan, seperti pemuda lainnya, ia juga ingin segera mendapatkan jodoh lalu menikah dan memiliki sebuah keluarga.

Pada suatu ketika ia sangat tergila-gila pada seorang wanita.
Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah.
Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu.
Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.

Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku.
Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong...pertimbangkan lagi ya Allah," ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.

STRATEGI DOA

Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu.
Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya.
Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah.
Ia pun introspeksi diri.

Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.

Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi.
Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.

Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.

Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya.
Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri.
Lama-lama ia mulai khawatir juga.
Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia.
Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.

PAKAI NAMA IBU

Abu Nawas memang cerdas.
Tak kehabisan akal, ia pun merasa perlu sedikit "diplomatis" dengan Allah.
Ia pun mengubah doanya.

"Ya Allah, kini aku tidak minta lagi untuk diriku.
Aku hanya minta wanita sebagai menantu Ibuku yang sudah tua dan sangat aku cintai Ya Allah.
Sekali lagi bukan untukku Ya Tuhan.
Maka, berikanlah ia menantu," begitu doa Abu Nawas.

Dasar Abu Nawas, pakai membawa nama ibunya segala, padahal permintaanya itu tetap saja untuk dirinya.
Allah Maha Tahu, tidak perlu dipolitisir segala.

Tapi barangkali karena keikhlasan dan "keluguan" waliyullah Abu Nawas tersebut, Allah pun menjawab doanya.

Akhirnya Allah menakdirkan wanita cantik dan salihah itu menjadi istri Abu Nawas.
Abu Nawas bersyukur sekali bisa mempersunting gadis pujaannya.
Keluarganya pun berjalan mawaddah warahmah.
readmore »»  

Tuesday, October 20, 2015

Dimanakah Allah Bersemayam


Sungguh tidak benar bila dikatakan kalau Baginda Harun Al Rasyid itu bukan seorang ahli pikir. Hal ini terbukti dari cara beliau berkata, mengajukan pertanyaan dan tahu kapan harus bicara atau diam. Bahkan baginda itu cermat dalam bertindak.

Meskipun Baginda Harun al Rasyid terkenal cerdik, namun beliau tidak segan-segan bertanya apabila memang tidak mengerti.
Suatu contoh saja misalnya ketika Baginda Harun menunaikan ibadah haji. Beliau bertanya dalam hati kenapa orang berputar-putar mengelilingi Ka'bah Baitullah.
Padahal orang yang menunaikan ibadah haji adalah tamu Allah.

Kenapa kalau sebagai tamu Allah tidak dipersilahkan masuk ke dalam Baitullah satu persatu. Pertanyaan ini belum terpecahkan hingga Baginda kembali ke Baghdad Irak.
Untuk kesekian kalinya, Abu Nawas dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda Raja.
Kemudian Baginda bertanya,"Wahai Abu Nawas, apakah arti Ka'bah Baitullah?"
"Ka'bah Rumah Allah, Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas.

"Sebagai apakah orang yang menunaikan ibadah haji itu?" tanya Baginda selanjutnya.
"Sebagai tamu Allah, Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.

"Kalau mereka sebagai tamu Allah mengapa tidak dipersilahkan masuk saja ke dalam Baitullah?" tanya Baginda lagi.
"Baitullah hanyalah sebagai lambang," kata Abu Nawas.
"Kalau begitu dimanakah Allah bersemayam?" tanya Baginda ingin tahu.
"Di dalam hati orang mukmin," jawab Abu Nawas.

"Karena tidak ada suatu ruang yang bagaimanapun luasnya mampu menampung Dzat Allah kecuali hati orang mukmin. Qalbul Mukmin Baitullah (hati orang mukmin adalah rumah Allah)," jawab Abu Nawas menjelaskan.
"Mengapa Baitullah dijadikan kiblat?" tanya Baginda.
"Untuk memudahkan pemahaman orang awam, Paduka yang mulia." kata Abu Nawas.

"Baitullah itu terlihat mata. Dari itu shalat syariat kiblatnya adalah Baitullah, yang waktunya ditentukan dan dengan bacaan tertentu pula.
Sedangkan shalat tharikat kiblatnya hati, waktunya bisa setiap saat dan bacaannya dzikir kepada Allah," Abu Nawas menjelaskan.

Baginda Raja Harun pun puas dengan jawaban Abu Nawas ini.
readmore »»  

Monday, October 19, 2015

Detektor Jantung


Suatu ketika saat Abu Nawas sedang berpergian di negara tetangga bersama temannya, tiba-tiba saja ada kabar tentang putra mahkota kerajaan tetangga tersebut yang jatuh sakit. Dan dari kabarnya, sudah banyak tabib yang didatangkan tapi tak seorangpun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan sayembara yang boleh diikuti oleh semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga seperti Abu Nawas dan temannya.

Sayembara yang berhadiah besar itu ternyata begitu menggiurkan banyak orang, sehingga dalam waktu singkat telah diikuti ratusan peserta. Namun sampai beberapa hari kemudian, tak ada satu pun dari peserta berhasil mengobati penyakit sang pangeran. Melihat hal itu, Abu Nawas tergoda untuk mengikuti sayembara itu. Ia menyuruh temannya mendaftarkan diri.

Temannya yang tahu bahwa Abu Nawas bukan tabib, mula-mula menolak untuk mendaftarkan diri. Namun karena terus didesak, akhirnya ia mendaftarkan nama Abu Nawas sebagai juru sembuh untuk mengikuti sayembara. Namun kedatangan Abu Nawas dan temannya yang tidak membawa peralatan medis apapun, mencengangkan pihak kerajaan tetangga dan para tabib yang lain.

Ketika Abu Nawas dan temannya dipersilahkan memasuki kamar sang putra mahkota, ia mencoba mengamati kondisinya. Ia menghampiri sang pangeran dan duduk di sisinya. Ia mencoba menerka, apa yang sebenarnya dialami oleh lelaki muda di depannya itu.

Setelah berpikir sejenak, Abu Nawas berkata kepada raja, "Saya membutuhkan seorang yang di masa mudanya sering mengembara ke pelosok negeri Anda."

Maka segera orang tua yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. Lalu Abu Nawas berkata kepadanya, "Sebutkan satu persatu nama-nama desa di daerah selatan."

Maka orang tua itu menuruti apa yang diperintahkan Abu nawas. Dan ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa begian selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar menyebutkan bagian utara, barat, dan timur. Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu Nawas bertanya kepada sang Raja, "Apakah beberapa hari sebelumnya, putra mahkota sering pergi ke daerah utara negeri Paduka?"

"Mmmm... benar... memangnya kenapa?"

Lalu Abu Nawas membisikkan sesuatu kepada pangeran dan kemudian menempelkan telinganya ke dada pangeran. Sang Raja heran dengan apa yang dilakukan Abu Nawas. Ia pun bertanya, "Apa yang sedang kamu lakukan?"

"Saya tengah memasang detektor untuk mendeteksi denyut jantung putra Paduka" jawab Abu Nawas.
"Detektor apa itu?" tanya Raja keheranan.
"Apakah yang mulia menginginkan sang pangeran hidup?" tanya Abu Nawas.
"Apa maksudmu?" Raja balas bertanya.
"Di telinga hamba ada detektor Asmara yang bisa menerka denyut jantung orang-orang yang tengah jatuh cinta. Dan menurut detektor yang hamba miliki itu, Sang pangeran sekarang ini sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini," Abu Nawas menjelaskan.
"Bagaimana kau tahu?"
"Itu karena hamba memiliki detektor asmara Paduka!"
"Bagaimana kau menggunakannya?"
"Hamba bisa mendeteksi penyakit itu dari nama-nama desa di seluruh negeri ini. Saat Si pengembara tadi menyebutkan nama sebuah desa, tiba-tiba degup jantungnya keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini. Dan Sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada Baginda."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Raja.
"Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu."
"Kalau tidak?" tawar Raja ragu-ragu.
"Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka dia akan mati."

Tentu saja saran Abu Nawas tidak bisa ditolak oleh Sang Raja, demi kelangsungan kerajaannya.
Bagaimanapun sang pangeran adalah putra satu-satunya yang akan mewarisi kekuasaannya. Dan bergembiralah sang Raja karena begitu mendengar persetujuan darinya, sang pangeran berangsur-angsur pulih. Dengan demikian, Abu Nawas dan temannya berhak mendapatkan hadiah yang besar.
readmore »»  

Sunday, October 18, 2015

Cara Memilih Jalan


Kawan-kawan Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan.
Akan tetapi dengan tanpa keikutsertaan Abu Nawas, perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan.
Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta.
Abu Nawaspun tidak keberatan, hingga mereka berangkat dengan mengendarai keledai masing-masing sambil bercengkrama.

Tiada terasa mereka telah menempuh hampir separuh perjalanan dan kini mereka tiba di pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk.
Mereka berhenti karena mereka ragu-ragu kemana jalan yang akan ditempuh.
Setahu mereka, kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata yang berisi binatang-binatang buas.

Abu Nawas hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena bila salah pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali.
Bukankah lebih bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan?
Tetapi salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata,
"Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana.Mereka adalah saudara kembar, dan tak seorang pun bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip.
Yang satu selalu berkata jujur, sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja."

"Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?" tanya Abu Nawas.
"Tidak," jawab kawan Abu Nawas singkat.
"Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak," sambung Abu Nawas.
Abu Nawas makan daging dengan madu bersama sahabat-sahabatnya.

Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang kembar bersaudara.
Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua orang kembar bersaudara itu.
"Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja, tidak boleh lebih," katanya.

Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.
"Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan," kata Abu Nawas kepada sahabatnya.
"Bagaimana engkau tahu bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?" tanya salah seorang dari mereka.

"Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri," kata Abu Nawas.
Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan.

Tadi aku bertanya:
"Apakah yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan mana yang menuju hutan yang indah?"

Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab,
"Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong."

Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab:
"Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kanan sebab saudara kembarnya selalu berkata benar."
readmore »»  

Saturday, October 17, 2015

Cara Abunawas merayu Tuhan


Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.

Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.

“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.

“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.

“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.

Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.

Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ketiga itu lagi.

“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.

***

Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.

Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.

“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.

“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.

“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.

“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.

“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.

“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.

“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.

“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.

“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.

“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).

Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.
readmore »»  

Friday, October 16, 2015

Bunuh diri dengan Minum Madu

Di balik kecerdasan otaknya, ternyata Abunawas memiliki beberapa keterampilan yang mumpuni. Salah satunya adalah sebagai seorang penjahit, dan bahkan sebelum menjadi orang kepercayaan raja Harun Al Rasyid, ternyata Abu Nawas pernah bekerja sebagai penjahit pada majikan yang bernama Tuan Amir.

Ia bekerja dengan rajin sehinga dengan mudah mendapatkan kepercayaan dari majikannya. Bagi majikan, Abu Nawas merupakan salah satu karyawannya yang teladan. Meski demikian, Tuan Amir mengerti kebiasaan buruk Abu Nawas yang kerap kali meminum atau memakan makanan kepunyaan tuannya.

Pada suatu hari, Tuan Amir datang dengan membawa satu kendi madu. Melihat majikannya datang dengan membawa sebuah kendi, Abu Nawas menghampiri majikannya,
"Untuk apa kendi itu? bolehkah aku meminta isinya?" tanya Abu Nawas.
Karena khawatir madu itu akan diminum Abu Nawas, maka majikannya terpaksa berbohong,
"Wahai Abu Nawas, kendi ini berisi racun dan aku tidak mau nanti kamu mati karena meminumnya," jawab sang majikan. 

Tipuan Abu Nawas.

Abu Nawas yang memang mengerti benar bahwa kendi yang dibawa majikannya itu khusus untuk madu, ia tidak dapat berbuat banyak. Tak lama setelah itu, sang majikan pun pergi keluar. Pada saat itu, Abu Nawas memutar otak untuk bisa meminum madu itu tanpa menyinggung perasaan majikannya. Karenanya, Abu Nawas menjual sepotong pakaian. Hasil penjualannya itu kemudian ia gunakan untuk membeli roti.

Setibanya di tempat kerja, roti itu dimakan dengan menggunakan madu milik sang majikan. Hingga tak terasa madu itu pun habis diminum Abu Nawas. Madu itu terasa sangat nikmat sehingga membuat Abu Nawas merasa sangat kekenyangan.

Abu Nawas kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Namun, tak lama kemudian, majikannya datang dengan membawa sepotong roti. Alangkah terkejutnya Tuan Amir ini ketika mendapati tutup kendinya terbuka dan madu dalam kendi itu sudah habis tak tersisa.

Tak hanya itu, Tuan Amir juga mendapatkan sepotong pakaiannya telah hilang.
"Ini pasti ulah Abu Nawas," gumannya dalam hati.
Tuan Amir pun langsung menghampiri Abu Nawas yang lagi sibuk bekerja menjahit pakaian.
"Hai..Abu Nawas, apa sebenarnya yang telah terjadi, mengapa isi kendi ini habis dan sepotong pakaian telah hilang?" tanya Tuan Amir.
"Maaf Tuan, tadi sewaktu Tuan pergi, ada sekelompok pencuri datang mengambil pakaian majikan," kata Abu Nawas.
"Lantas apa yang kamu lakukan terhadap pencuri itu?" tanya Tuan Amir lagi. 

Berpura-pura Takut.

Mendapat pertanyaan yang terus menerus dari majikannya, Abu Nawas semakin berpura-pura gemetar. Tapi, meski demikian, dia tetap tidak kekurangan akalnya.
"Aku ketakutan dan tidak bisa berbuat apa-apa," kata Abu Nawas.
"Lalu mengapa isi kendiku hilang, apakah juga diminum oleh pencuri itu?" tanya Tuan Amir.
"Tidak Tuan," jawab Abu Nawas dengan polosnya.
"Lantas siapa yang telah meminumnya?" tanya Tuan Amir lagi.
"Sekali lagi mohon maaf Tuan majikan, karena takut akan dimarahi oleh Tuan, maka aku putuskan untuk memilih bunuh diri saja menggunakan racun yang ada dalam kendi itu," jelas Abu Nawas.

Mendengar pengakuan jujur dan keahlian akal Abu Nawas, Tuan Amir yang semula akan marah akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sadar jika semua itu juga kesalahannya karena telah berbohong kepada bawahannya.
readmore »»  

Thursday, October 15, 2015

Botol Ajaib


Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana.

Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman. "Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin." kata Baginda Raja memulai pembicaraan.

"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil." tanya Abu Nawas.

"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya." kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak.

Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.

Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap.

Mungkin sudah takdir, sepertinya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda. la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.

"Bukankah jin itu tidak terlihat?" Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.

Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas. "Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?"

"Sudah Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu.

Baginda menimang-nimang botol itu. "Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda.

"Di dalam, Tuanku yang mulia." jawab Abu Nawas penuh takzim.

"Aku tak melihat apa-apa." kata Baginda Raja.

"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu." kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.

"Bau apa ini, hai Abu Nawas?!" tanya Baginda marah.

"Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol." kata Abu Nawas ketakutan.

Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat.
readmore »»  

Belajar dari Buah Arbei


Abu Nawas dikenal memiliki pemikiran cerdas dan hampir bisa dipastikan dirinya memiliki solusi atas sebuah masalah yang tengah dihadapi. Selain itu, Abu Nawas juga dikenal sebagai saudagar buah-buahan yang dipanen dari kebun miliknya sendiri yang lumayan luas.
Bahkan saking luasnya kebun yang dimiliki Abu Nawas, sejauh mata memandang yang terlihat adalah bak permadani hijau yang tumbuh subur.

Pada suatu hari, Abu Nawas melakukan pengawasan, melihat-lihat kebunnya tersebut.
Dirinya berjalan kaki menyisiri kebunnya melewati tiap petak kebun yang ditanami berbagai macam sayur mayur dan buah-buahan segar.
Abu Nawas sangat bangga dan bahagia melihat tanamannya yang tumbuh subur dan menghasilkan banyak buah yang berkualitas.
Ucapan puja dan puji syukur terus menerus terucap dari bibir Abu Nawas kepada Tuhan. 

Inspeksi Kebun Buah.

Pada siang hari yang cukup terik itu, perjalanan Abu Nawas yang sedang mengawasi lahan kebun miliknya mendadak berhenti pada sebuah petak dimana tumbuh subur pepohonan arbei.
Abu Nawas memandangi dengan detail tiap bagian pohon arbei miliknya tersebut. Dirinya memperhatikan rantingnya, daunnya hingga buahnya yang nampak segar bergelantungan.

Karena terik matahari begitu panas tepat di atas kepala dan dirinya merasa lelah, Abu Nawas kemudian berhenti dan beristirahat di bawah pohon arbei yang lebat. Bekal makanan yang sudah disiapkan oleh istrinya segera dibuka dan disantapnya. Kali ini makanan yang dia bawa tidak pedas-pedas amat, sangat enak gumannya dalam hati. Dengan ditemani semilir angin yang sepoi-sepoi, Abu Nawas puas menikmati makanan dari istrinya tersebut.

Setelah kenyang, dirinya menyandarkan diri pada batang pohon arbei sambil melihat ke atas, dilihatnya buah arbei yang ranum. Sesaat itu pula dirinya memandangi buah labu yang ada di petak seberang, betapa besar buahnya serta ranum.
Bukan Abu Nawas kalau dirinya hanya memandang saja. Ya..seperti biasa, Abu Nawas mulai merenungi buah-buahan yang tumbuh segar dari kebun miliknya.

TIba-tiba saja terlintas sebuah pemikiran di benak Abu Nawas.
"Aku itu heran, apa sebabnya ya pohon arbei yang sebesar ini namun buahnya hanya kecil saja.
Padahal, pohon labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar," ujar Abu Nawas dalam hati. 

Kejatuhan Buah Arbei.

Tak lama berselang, angin kecil pun bertiup menghampiri Abu Nawas yang sedang beristirahat seolah-olah langsung menjawab pertanyaan yang ada dalam benaknya.
Ranting arbei pun bergerak-gerak dan saling bergesekan dan sesaat kemudian ada sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala Abu Nawas yang sedang tidak bersorban itu.

"Ahaa...aku tahu sebabnya," ujar Abu Nawas.

Beruntung bagi Abu Nawas di siang itu hanya kejatuhan buah arbei saat sedang beristirahat. Bagamana jadinya jika saat itu dirinya kejatuhan buah labu?
Allah SWT menciptakan semua makhluknya yang ada di muka bumi ini dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing, dimana semua itu berjalan sesuai dengan fungsinya.
Saling keterikatan dan saling membutuhkan.
readmore »»  

Tuesday, October 13, 2015

Air susu yang pemalu


Kecerdasan Abu Nawas benar-benar menghibur Raja Harun Ar Rasyid.
Suatu saat sang raja terlihat murka melihat pekerjaan pengawal kerajaan yang selalu tidak beres.
Setelah diselidiki, ternyata para pengawal itu suka mabuk-mabukan.
"Wahai pengawalku semua, sudah sering aku peringatkan agar engkau jangan mabuk-mabukan," ujar Raja Harun.

Para pengawal kerajaan terlihat begitu gemetar. Mereka tak berani menatap mata rajanya. Kepala mereka tertunduk sebagai pengakuan rasa bersalah.
"Ceritakan kepadaku, dari mana kalian mendapatkan arak-arak itu," tanya raja. 

Raja Harun Murka.

Untuk beberapa saat, para pengawal tak mau mengaku juga. Namun, ketika Raja Harun membentak, akhirnya mereka mengaku juga.
"Abu Nawaslah yang membawa arak-arak itu ke istana, kami juga diajari mabuk-mabukan olehnya," ujar salah seorang pengawal.
"Jika demikian, cepat bawa Abunawas ke hadapanku, kalau tidak, kalian semua harus menerima hukuman dariku," ujar raja Harun.

Keesokan harinya berangkatlah beberapa pengawal kerajaan ke rumah Abu Nawas. Sesampainya di rumah sederhana Abu Nawas, mereka kemudian memberitahukan maksudnya.
"Bawalah botol ini ke hadapan raja dan katakan semua ini atas perintahku," ujar salah satu pemimpin pengawal itu.
"Tunggu dulu, dengan minuman arak ini, aku pasti akan dihukum oleh raja," kata Abu Nawas.
"Benar, tapi jika engkau berhasil lolos dari hukuman raja, aku akan memberimu sejumlah dirham," ucap pengawal itu.

"Lalu apa keuntunganmu dengan memberiku sejumlah dirham?" tanya Abu Nawas.
"Jika engkau lolos dari hukuman raja, maka kami semua juga akan lolos. Gunakanlah kecerdasanmu untuk mengelabuhi raja," jawab pengawal itu.
Akhirnya Abu Nawas bersedia menerima tugas itu. Dengan memegang sebotol arak berwarna merah, ia menemui Raja Harun.
"Wahai Abu Nawas, apa yang engkau pegang itu?" tanya raja Harun. 

Susu yang Merah Merona.

Dengan gugup Abu Nawas menjawab "Ini susu Baginda, rasanya enak sekali," jawab Abunawas sekenanya.
"Bagaimana mungkin air susu berwarna merah, biasanya susu kan berwarna putih bersih," kata raja Harun keheranan sambil mengambil botol yang dipegang Abu Nawas.
"Betul Baginda, semula air susu ini berwarna putih bersih, saat melihat Baginda yang gagah rupawan, ia tersipu-sipu malu, dan menjadi merah merona," jawab Abu Nawas yang mencoba mengambil hati raja Harun dengan menyebutnya seorang rupawan.

Mendengar jawaban Abunawas, Baginda pun tertawa dan meninggalkannya sambil geleng-geleng kepala. Raja Harun sebenarnya tahu bahwa yang di dalam botol itu adalah arak, namun karena penyampaian Abu Nawas yang membanggakan hati, ia tidak memberikan hukuman kepada Abu Nawas.
"Baiklah, untuk kalian semua aku maafkan, akan tetapi jika kalian ulangi lagi, maka hukumannya akan berlipat ganda," titah sang Raja.

Akhirnya Raja Harun Ar Rasyid juga memberikan ampunan kepada para pengawal
Abu Nawas juga mendapatkan hadiah sejumlah beberapa dirham dari para pengawal, karena telah berhasil melaksanakan misinya.
readmore »»  

Abunawas tidak mau Hadiah


Suatu ketika Abu Nawas dipanggil oleh Raja Harun Ar Rasyid di istana kerajaan dan terjadilah percakapan di antara keduanya. Rupanya kali ini Abu Nawas sedang memperingatkan rajanya perihal harta dunia yang tidak akan dibawa mati ke kuburan karena Abu Nawas mengetahui bahwa ia dipanggil karena ingin diikat sebagai saudara raja dengan tali ikatan hadiah.

Sesampainya di istana kerajaan, Abu Nawas dengan santainya menegur langsung kepada Raja Harun tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Wahai Amirul Mukminin, bagaimana nanti jika Allah SWT menghadapkan Anda di hadapan-Nya, lalu meminta pertanggungjawaban Anda tentang lalat hitam, burung kenari dan kulit ari," kata Abunawas kepada Raja Harun.

Begitu mendengar penuturan Abunawas yang tiba-tiba itu, menyebabkan Raja Harun Ar Rasyid sedih, sehingga menangis tersedu-sedu. Melihat rajanya bersedih, salah seorang kepala pengawal segera bertindak dengan memarahi Abu Nawas.

"Wahai Abu Nawas, engkau diamlah, engkau telah menyakiti hati sang Raja!" bentak kepala pengawal kerajaan kepada Abu Nawas.

"Biarkan dia," kata Raja Harun.
"Sebenarnya yang merusak dan menyakiti itu Anda," kata Abu Nawas dengan berani.
"Begini Abu Nawas, saya ingin mengikat tali persaudaraan denganmu dengan pemberian fasilitas dan hadiah-hadiah," kata Raja Harun Ar Rasyid.

"Kembalikan saja semua harta dari tempat semula yang hendak paduka berikan kepada hamba," jawab Abu Nawas.
"Lalu bagaimana dengan kebutuhanmu?" tanya Raja Harun.

"Aku ingin Anda tidak melihatku dan akupun tidak melihat paduka. Ketahuilah wahai Amirul Mukminin, Aiman bin Nail dari Qudamah bin Abdullah al-Kalaby pernah berkata,
Aku telah melihat Rasululah SAW melempar jumrah Aqabah di atas ontanya yang kemerah-merahan, tanpa ada pukulan dan tidak pula dengan pengusiran," jawab Abu Nawas.

Setelah berkata demikian, Abu Nawas segera meninggalkan istana sambil bernyanyi.

Nyanyian Abu Nawas:

Persiapanmu telah memenuhi bumi sepenuhnya
Hambamu mendekat dan sekarang apa?
Bukankah engkau bakal mati dalam kuburan?
Pewarismu mengelilingi, hartamu tak dapat engkau gunakan lagi.

readmore »»  

Monday, October 12, 2015

Abunawas tidak Berdusta


Pada suatu waktu, ketika Raja Harun Ar Rasyid sedang menunaikan ibadah haji, tiba-tiba saja dia teringat akan Abu Nawas pada saat memasuki kota Kuffah.
Untuk memenuhi rasa kangennya, Baginda raja menyuruh para pengawalnya untuk mencari Abu Nawas sekaligus menghadapkan ke hadapannya.
Raja berpesan, nanti kalau sudah bertemu, tolong Abu Nawas diberi pakaian berwarna hitam dan celana panjang yang nantinya diletakkan di atas kepala Abu Nawas.

Para pengawal bergegas melaksanakan perintah itu meskipun mereka berfikir bahwa ini adalah suatu permintaan yang aneh sekali.
Setelah mencari ke segala penjuru kota, akhirnya Abu Nawas bisa ditemukan juga. Tak berapa lama kemudian Abu Nawas datang juga dengan pakaian hitam dan celanan panjang yang ditaruh di atas kepalanya.

Setelah ada di hadapan raja, Abu Nawas berkata, "Wahai Baginda, Amirul Mukminin, aku memohon kepada Allah SWT semoga Allah memberikan rezeki dan melapangkan anugerahNya kepada Tuanku," kata Abu Nawas. "Ya, terima kasih, Amiin..." jawab Raja Harun Ar Rasyid.

Setelah kejadian itu, Raja Harun Ar Rasyid pergi meninggalkan kota Kuffah dan melanjutkan perjalanan. Banyak penduduk Kuffah yang terheran-heran dengan tingkah laku Abu Nawas itu. Dia malah mendoakan sang raja sambil menaruh celana panjang di atas kepalanya.

"Wahai Abu Nawas, begitukah caranya engkau mendoakan Amirul Mukminin," tanya beberapa warga yang melihat kejadian itu.
 "Diamlah wahai semua, Celakalah semua, tidak ada yang lebih disukai oleh Amirul Mukminin kecuali harta dan uang," jawab Abu Nawas dengan santainya.
Abu Nawas segera berlalu dari tempat itu.

Karena ada yang iri atau entah mencari muka di hadapan raja, maka ada salah seorang yang melaporkan kejadian itu tentang ucapan Abu Nawas yang mengatakan bahwa rajanya menyukai harta dan uang.

Betapa terkejutnya si pelapor ini dengan jawaban yang diucapkan oleh raja mereka.
"Demi Allah, ia tidak berdusta, Abu Nawas berkata benar,"
Si pelapor menjadi malu karena kejadian ini.
readmore »»  

Sunday, October 11, 2015

Abunawas mengelabui Raja


Karena di anggap terlalu mengkritik kepemimpinan Raja Harun, maka Abu Nawas ditangkap karena ia dituduh telah melakukan sesuatu yang membahayakan kerajaan sehingga harus dihukum.

Namun demikian, Abu Nawas selalu punya alasan untuk meloloskan diri dari hukuman itu.
Ia mengaku kepada pengawal kerajaan bahwa ia memiliki ilmu tinggi dan ia akan terbang. Kabar Abu Nawas akan terbang akhirnya terdengar oleh Raja Harun.

"Mana mungkin Abu Nawas akan terbang, dia tidak punya sayap, tidak punya alat-alat khusus, apakah ia punya ilmu khusus?" kata Raja Harun kepada pengawalnya. "Kami tidak tahu paduka, tetapi Abu Nawas sangat meyakinkan," jawab pengawal.

Hingga dibawalah Abu Nawas menghadap Sang Raja. "Abu Nawas, betulkah kamu mau terbang?" tanya Raja. "Ya Tuanku, memang saya mau terbang," jawab Abu Nawas. "Kapan? dan dimana?" tanya Raja secara beruntun. "Hari Jum'at yang akan datang ini, dan dari menara Masjid Baitul Rakhim, tak jauh dari rumah saya, jika raja mengijinkan," jawab Abu Nawas.

Akhirnya Sang Raja mengijinkan dan bahkan ia berjanji akan membebaskan Abu Nawas jika bisa terbang. Akan tetapi jika Abu Nawas tak bisa membuktikan, maka hukumannya akan ditambah 100 lecutan rotan, daun kuping dipotong dan hukuman gantung.

Akan Terbang

Pada hari yang sudah dinantikan, Jum'at sesudah sembahyang Jum'at, lapangan sekitar masjid Baitul Rakhim sudah penuh orang. Orang biasa, rakyat, penduduk dan penguasa setempat sudah berjubel mengambil tempat masing-masing. Orang-orang menantikan saat yang paling genting dan mendebarkan.

Abu Nawas dengan langkah yang sangat gagah dan tak ragu, menaiki tangga menara tertinggi dan orang-orang melihat dengan mata yang tak berkedip, terpaku dan menyatu mengikuti langkah tubuh Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas sampai pada puncak tertinggi, dia melihat lurus dan terkadang ke bawah yang penuh orang. Badan dan kedua belah tangannya merentang lurus seakan-akan benar mau terbang. Orang-orang yang ada di bawah dengan seksama memperhatikan Abu Nawas terus dan berulang-ulang merentangkan tangannya dan memajukan badannya seakan-akan terbang dan bagaikan berenang perilaku dan gerak-geriknya.

Sementara orang-orang yang ada di bawah menunggu dengan jantung berdegup dengan kencang. Akhirnya Abu Nawas menemui mereka dan mereka semua terpana, terpesona, heran dan penuh keraguan apalagi yang mau dibuat Abu Nawas ini.

"Apa semua kalian lihat tadi bagaimana saya mau terbang itu?" tanya Abu Nawas. "Ya, kami melihat, kamu menggerakkan kedua belah tanganmu dan badanmu bergerak ke depan, tampaknya memang bergaya mau terbang," kata orang banyak.

Bebas

"Lalu apakah saya berbohong bahwa saya mau terbang pada hari Jum'at ini dan di menara tertinggi Masjid Baitul Rakhim ini?" tanya Abu Nawas. "Ya tidak bohong, kamu betul mau terbang hari ini dan di sini. Tapi kenapa lalu kamu tidak terbang?" kata mereka.

"Yang saya katakan bahwa saya mau terbang. Lalu saya coba, lalu ternyata yang seperti kalian lihat tadi itu," kata Abu Nawas. "Tapi ternyata kamu tidak bisa terbang," kata mereka.

"Itu soal lain, saya tidak mengatakan bahwa saya akan terbang pada hari Jum'at ini dan di sini.Itu yang saya katakan dan kalian semua tahu hal itu. Saya katakan bahwa saya mau terbang, hanya itu bukannya terbang," kata Abu Nawas.

Orang-orang saling melihat dan mulut mereka berguman. Tarikan nafas panjang karena Abu Nawas terlepas dari jeratan hukum. Orang-orang juga sama membenarkan bahwa Abu Nawas memang tidak berbohong. Dia melakukan semua yang dia pernah katakan.Tidak berbohong dan menepati janji.
readmore »»  

Saturday, October 10, 2015

Abunawas menduduki singgasana Raja


Kecerdikan akal dan pikiran Abu Nawas sudah tersebar di seluruh penjuru kerajaan yang dipimpin oleh Raja Harun Ar-Rasyid. Bahkan raja sendiri pun mengakui kehebatan Abu Nawas hingga mengajaknya tinggal di istana.

Raja Harun telah memberikan kebebasan kepada Abu Nawas untuk keluar masuk istana tanpa prosedur yang berbelit. Dengan hadirnya Abu Nawas di istana, maka raja dapat setiap saat meminta pertimbangan, pendapat kepada Abunawas dalam setiap keputusannya, sebagai penasehat kerajaan.

Namun, tampaknya kali ini Abu Nawas mulai bosan tinggal di istana, ia tidak terbiasa dengan hidup berfoya-foya. Meskipun semua yang diinginkan selalu tersedia, namun Abu Nawas memilih ingin tinggal di luar istana, ia rindu sekali untuk menggarap sawah dan merawat hewan ternaknya.

Dari sinilah kemudian muncul dalam pikiran Abu Nawas untuk keluar dari istana. Diputarlah otaknya untuk mencari alasan agar ia bisa keluar.

Menduduki Singgasana Raja.

Setelah semalamam dipikirkan, Abu Nawas menemukan cara jitu untuk keluar dari lingkungan istana.

Pada keesokan harinya, ia sengaja bangun pagi-pagi sekali kemudian pergi ke ruang utama istana. Saat itu suasana masih sepi, hanya terdapat beberapa pengawal. Raja Harun sendiri masih terbaring di tempat tidurnya.

Pada saat itulah Abu Nawas mendekati singgasana raja dan mendudukinya. Tak hanya itu saja, Abu Nawas juga mengangkat kaki dan menyilangkan salah satu kakinya seolah-olah dialah rajanya.

Melihat kejadian itu, beberapa pengawal kerjaaan terpaksa menangkap Abu Nawas. Mereka menilai bahwa siapapun tidak berhak duduk di singgasana raja kecuali Raja Harun sendiri.
Barang siapa yang menempati tahta raja, termasuk dalam kejahatan yang besar dan hukuman mati yang diberikan.

Para pengawal menangkap Abu Nawas kemudian menyeretnya turun dari tahta dan memukulinya.
Mendengar teriakan Abu Nawas yang kesakitan, raja menjadi terbangun dan menghampirinya.

'Wahai pengawal, apa yang kalian lakukan?" tanya raja.
"Ampun Baginda, Abu Nawas telah lancang duduk di singgasana Paduka, kami terpaksa menyeret dan memukulinya," jawab salah seorang pengawal.

Sesaat setelah itu, Abu Nawas tiba-tiba saja menangis. Tangisannya sengaja ia buat kencang sekali sehingga banyak menyita perhatian penduduk istana lainnya.
"Benarkah yang dikatakan pengawal itu wahai Abu Nawas?" kata Raja Harun.
"Benar Paduka," jawan Abu Nawas.

Tujuan Keluar Istana Tercapai.
 
Raja sangat terkejut dengan penuturan Abu Nawas itu. jika sesuai peraturan yang ada, Abu Nawas akan dikenai hukuman mati. Namun, Raja Harun tak sampai hati melaksanakannya mengingat begitu banyak jasa yang diberikan Abu Nawas kepada kerajaan.

"Sudahlah, tak usah menangis. Jangan khawatir, aku tidak akan menghukummu. Cepat hapus air matamu," ucap sang raja.
"Wahai Baginda, bukan pukulan mereka yang membuatku menangis, aku menangis karena kasihan terhadap Paduka," kata Abu Nawas yang membuat raja tercenganng oleh ucapan itu.
"Engkau mengasihaniku?" tanya Raja Harun.
"Mengapa engkau harus menangisiku?" kata raja lagi.

Harga Diri Raja Tercoreng.
 
Abu Nawas menjawab, "Wahai raja, aku cuma duduk di tahtamu sekali, tapi mereka telah memukuliku dengan begitu keras. Apalagi paduka, paduka telah menduduki tahta selama dua puluh tahun. Pukulan seperti apa yang akan paduka terima? Aku menangis karena memikirkan nasib paduka yang malang," jawab Abu Nawas.

Jawaban itu membuat raja tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak menyangka Abu Nawas menjual harga dirinya di depan banyak pengawal. Oleh karena itu, Raja Harun hanya menghukum Abu Nawas untuk dikeluarkan dari istana.

"Baiklah jika demikian, mulai detik ini kamu harus keluar dari istanaku," kata raja sedikit geram.
"Terima kasih paduka, memang itulah yang saya kehendaki," balas Abu Nawas sambil menyalami Raja Harun untuk kemudian pamit keluar dari istana.
readmore »»  

Friday, October 9, 2015

Abunawas mendemo Tuan Kadi


Pada suatu sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya. Ada dua orang tamu datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.

Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh murid-muridnya menutup kitab mereka.

"Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta batu."

Murid-murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan berada di pihak yang benar.

Pada malam harinya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa peralatan yang diminta oleh Abu Nawas.

Berkata Abu Nawas,"Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak rumah Tuan Kadi yang baru jadi."

"Hah? Merusak rumah Tuan Kadi?" gumam semua muridnya keheranan.

"Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!" kata Abu Nawas menghapus keraguan murid-muridnya. Barangsiapa yang mencegahmu, jangan kau perdulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barangsiapa yang hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan lemparilah dengan batu."

 Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi. Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi. Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakuan mereka. Lebih-lebih ketika tanpa basa-basi lagi mereka langsung merusak rumah Tuan Kadi. Orang-orang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah murid-murid Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani mencegah.

Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan bertanya,"Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?"

Murid-murid itu menjawab,"Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami!"

Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.

Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak ada orang yang berani membelanya, "Dasar Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya kepada Baginda."

Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu Nawas dipanggil menghadap Baginda.

Setelah Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya. "Hai Abu Nawas apa sebabnya kau merusak rumah Kadi itu"

Abu Nawas menjawab, "Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada suatu malam hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya. Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus lagi. Ya, karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi."

Baginda berkata, "Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?"

Dengan tenang Abu Nawas menjawab, "Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi yang baru ini Tuanku."

Mendengar perkataan Abu Nawas seketika wajah Tuan Kadi menjadi pucat. la terdiam seribu bahasa.

"Hai Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?" tanya Baginda.

Tapi Tuan Kadi tiada menjawab, wajahnya nampak pucat, tubuhnya gemetaran karena takut.

"Abu Nawas! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini !" perintah Baginda.

"Baiklah..."Abu Nawas tetap tenang. "Baginda.... beberapa hari yang lalu ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. Ini hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda Mesir itu tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, disinilah terlihat arogansi Tuan Kadi, ia ternyata merampas semua Harta benda milik pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa."

Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya seratus persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke hadapan Baginda.

Berkata Baginda Raja, "Hai anak Mesir ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak engkau datang ke negeri ini."

Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan pemuda itu juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia menginap. "Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad moralnya."

Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya dirampas dan diberikan kepada si pemuda Mesir.
Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas pulang ke rumahnya. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.

Berkata Abu Nawas,"Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun kepadaku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun juga."

Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.
readmore »»  

Wednesday, October 7, 2015

Abunawas Lolos dari hukuman Pancung


Karena dianggap hampir membunuh Baginda Raja, maka Abu Nawas mendapat celaka.
Dengan kekuasaan yang Absolute, Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk langsung menagkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke dalam penjara.

Berikut ini Kisah Abu Nawas yang lolos dari hukuman pancung:
Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim kentang akan tiba.
Namun tanpa alasan yang jelas prajurit kerajaan langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Paduka Raja.
Abu Nawas tiada mampu berkutik dan kini ia mendekam di dalam penjara.

Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam, sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk mencangkul.

Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar.
Sudah 2 hari ia meringkuk di dalam penjara, wajahnya terlihat murung.

Karena khawatir dengan keadaan istrinya, maka pada hari ke 3 Abu Nawas memanggil seorang pengawal.
"Bisakah aku minta tolong kepadamu?" kata Abu Nawas.
"Apa itu?" kata pengawal.
Abu nawas pun meminta pensil dan selembar kertas untuk menulis surat kepada istrinya.

"Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting, yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja," katanya.
Pengawal itu berfikir sejenak, lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata pengawal itu menghadap Raja untuk melapor.
Mendengar laporan dari pengawal, Baginda Raja berguman,
"Mungkin kali ini aku bisa mengalahkan Abu Nawas," gumannya. 

Surat Rahasia Abu Nawas
Abu Nawas menulis surat yang berbunyi,
"Wahai istriku, jangan engkau sekali-kali menggali ladang kita, karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolonglah jangan bercerita kepada siapa pun."

Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda Raja, karena Beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas.
Setelah membaca surat itu, Baginda Raja merasa puas dan memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas.

Istri Abu Nawas yang berada di rumah menjadi heran.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya.
Dalam surat tersebut istrinya mengatakan bahwa ladang mereka telah digali oleh pekerja istana dan istrinya bingung harus melakukan apa.

Rupanya istri Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya,
"Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku."

Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi karena Baginda Raja makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas.
Baginda semakin merasa tertantang untuk mengalahkan Abu Nawas.
Ia pun berfikir sejenak, kemudian beliau segera memerintahkan penjaga penjara untuk membebaskan Abu Nawas.
Baginda Raja tidak ingin ada resiko yang lebih buruk.

Abu Nawas memang girang bukan kepalang, tetapi ia juga merasa gundah gulana karena Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda telah merencanakan sesuatu dan Abu Nawas pun segera mencari akal untuk mengantisipasi rencana Baginda. 

Ahli Ramal
Pada hari itu juga Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak membuka praktik meramal, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal.

Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal, maka Baginda tanpa pikir panjang memerintahkan prajurit untuk menangkapnya, karena dianggap membahayakan.

Abu Nawas lalu digiring menuju tempat kematian.
 Tukang penggal kepala pun sudah menunggu dengan pedang yang baru di asah.
Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, tiba-tiba Abu Nawas tertawa sehingga membuat Baginda menangguhkan pemancungan.

"Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?" tanya Raja.
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira," jawab Abu Nawas.
"Mengapa engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia, karena tepat 3 hari setelah kematian hamba maka Baginda akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat. Karena hamba tidak bersalah sedikitpun," jawab Abu Nawas.

Baginda Raja bergetar mendengar kata Abu Nawas dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
readmore »»  

Tuesday, October 6, 2015

Abunawas lebih kaya dari Tuhan


Pada suatu saat di negeri tempat tinggal Abu Nawas, diadakanlah pertemuan antar raja-raja dari negara tetangga.
Sang Abu Nawas pun ikut pula dalam pertemuan itu karena dia adalah sebagai penasehat Raja.

 Dalam pertemuan itu salah satu tema yang dibicarakan adalah mengenai kekayaan.
Tak bisa dibayangkan raja-raja jaman dahulu memang kaya raya.
Para raja saling bercerita mengenai kekayaan yang dimiliki termasuk istana dan yang akan dibangun setelah pertemuan itu usai.

Ada raja yang memiliki kebun yang luas dengan hiasan permata, danau yang indah gemerlapan, kolam-kolam yang indah, gedung dan istana dan sebagainya.

Semua orang yang mendengar penuturan raja-raja itu berdecak kagum kecuali Abu Nawas.
Malah Abu Nawas berusaha mengingatkan dan menyadarkan mereka dari melimpahnya harta dunia yang fana ini. 

Harta dan Agama.

Sang Abu Nawas berkata kepada mereka,
"Kalau harta aku melihat ke bawah tetapi kalau agama aku melihat ke atas."

"Apa maksudnya itu?" tanya beberapa raja.
"Kalau tentang harta maka lihatlah orang yang lebih miskin niscaya engkau akan bersyukur.
Karena dengan rasa syukur maka kalian akan memperoleh nikmat yang lebih banyak.
Tapi kalau amal, maka lihatlah orang yang lebih bertakwa daripada kalian, niscaya kalian akan bertambah rajin untuk beribadah kepada Allah SWT," jelas Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas tersebut, orang-orang mulai sadar akan apa yang telah mereka miliki dan mereka banggakan.
Bahkan banyak dari mereka bahwa ucapan Abu Nawas itu adalah benar. 

Abu Nawas Lebih kaya dari Tuhan.

Akan tetapi mereka tiba-tiba terkejut dengan pernyataan Abu Nawas.
"Aku itu lebih kaya dari Tuhan." ucap Abu Nawas spontan.

Tentu saja ucapan Abu Nawas itu mendapat tanggapan yang luar biasa. Kaget. Tidaklah heran jika seisi ruangan pertemuan heboh dibuatnya.

Ada sebagian yang bilang kalau Abu Nawas berkata bohong, ada yang bilang kalau Abu Nawas berani berkata demikian memang tiada buktinya.
Sebagian lagi tidak percaya, sebagian lagi punya keyakinan bahwa Abu Nawas mempunyai maksud tertentu di balik kata-katanya.

Karena Abu Nawas bikin heboh pertemuan, akhirnya Baginda Raja memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Abu Nawas.
Setelah ditangkap, Abu Nawas dihadapkan ke Baginda Raja.

"Benarkah kamu mengatakan bahwa kamu lebih kaya dari Tuhan?" tanya Raja.
"Benar Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Apa maksudmu kamu lebih kaya dari Tuhan?" tanya Raja Harun.

"Karena kenyataannya hamba memang demikian," jawab Abu Nawas dengan santainya.
"Sanggupkan kamu membuktikan perkataanmu?" tanya Raja.
"Sanggup Tuanku." jawab Abu Nawas.

"Apa sangsinya bila ternyata kamu tidak sanggup membuktikannya?" tanya Raja Harun.
"Hamba akan rela dihukum oleh Tuanku." jawab Abu Nawas.

"Nah sekarang buktikanlah!" perintah Raja.
"Baginda yang mulia, bukankah Tuhan kita itu tidak mempunyai anak dan juga tidak diperanakkan?
Sedangkan hamba ini mempunyai anak dan ibu karena hamba hanyalah makhluk, bukan Sang Khalik." jawab Abu Nawas.

Mendengar penuturan Abu Nawas tersebut, Raja Harun Al-Rasyid merasa puas, bahkan sang Raja malah memerintah kepada Abu Nawas agar menyebarluaskan opini tersebut kepada seluruh penduduk.

Lolos lagi si Abu Nawas dari hukuman Raja.
readmore »»  

Monday, October 5, 2015

Abunawas Hamil dan hendak melahirkan


Sultan Harun Al-Rasyid masygul berat, konon, penyebabnya sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak menghadap ke Istana. Akibatnya, suasana Balairung jadi lengang, sunyi senyap. Sejak dilarang datang ke Istana, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di Istana.

“Mungkin Abu Nawas marah kepadaku,” pikir Sultan, maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas.

“Tolong sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin,” jawab Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan pesan Sultan. “Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengeluarkan bayiku ini,” kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

“Ajaib benar,” kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan punggawa setianya. “Baru hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil dan sekarang hendak bersalin. Dulu mana ada lelaki melahirkan. Aneh, maka timbul keinginan Sultan untuk menengok Abu Nawas. Maka berangkatlah dia diiringi sejumlah mentri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas.

Begitu melihat Sultan datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyambut dan menyembah kakinya, seraya berkata, “Ya tuanku Syah Alam, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina dina ini.”

Sultan dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara Abu Nawas duduk bersila di bawahnya. “Ya tuanku Syah Alam, apakah kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini? Rasanya bertahta selama bertahun-tahun baru kali ini tuanku datang ke rumah hamba,” tanya Abu Nawas.

“Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu,” jawab Sultan, “Engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang kemari.”

Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.

“Coba jelaskan perkataanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya,” tanya Sultan lagi.

Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas. “Konon, ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembesar tersebut ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri.

Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi, jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri, itulah tanda-tanda pengecut. Oleh karena itu harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditumggu, adalah baginda kemari,” baginda kemari kata Abu Nawas, adapun beranak yang ditunggu kedatangan Baginda kemari, “kata Abu Nawas.” Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda.”

“Bukan begitu, kata Sultan. “Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak menteri, tetapi tidak seperti kamu. lagipula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku”.

“Segala titah baginda, hamba junjung tinggi tuanku,” sembah Abu Nawas dengan takdzim. Tetapi Sultan cuma geleng-geleng kepala. Dan tidak seberapa lama kemudian Sultan pun kembali ke Istana dengan perasaan heran bercampur geli….
readmore »»  

Sunday, October 4, 2015

Abunawas dan Pukulan yang menjadi Dirham


Pada suatu hari Abu Nawas menghadap ke Istana. Ia pun bercakap-cakap dengan Sultan dengan riang gembira. Tiba-tiba terlintas dalam pikiran di benak Sultan. “Bukankah Ibu si Abu Nawas ini sudah meninggal? Aku ingin mencoba kepandaiannya sekali lagi, Aku ingin menyuruh dia membawa ibunya ke istanaku ini. Kalau berhasil akan aku beri hadiah seratus dirham.
“Hai, Abu Nawas,” titah Sultan, “Besok bawalah Ibumu ke istanaku, nanti aku beri engkau hadiah seratus dirham.”

Abu Nawas kaget. “Bukankah beliau sudah tahu kalau ibuku sudah meninggal, tapi mengapa beliau memerintahkan itu,” pikirnya. Namun dasar Abu Nawas, ia menyanggupi perintah itu. “Baiklah, tuanku, esok pagi hamba akan bawa ibu hamba menghadap kemari,” jawabnya mantap. Setelah itu ia pun mohon diri.

Sesampai di rumah, setelah makan dan minum, ia pergi lagi. Dijelajahinya sudut-sudut negeri itu, menyusuri jalan, lorong dan kampung, untuk mencari seorang perempuan tua yang akan dijadikan sebagai ibu angkat. Rupanya tidak mudah menemukan sesosok perempuan tua. Setelah memeras tenaga mengayun langkah kesana kemari hingga jontor, barulah ia menemukan yang dicari. Perempuan itu adalah seorang pedagang kue apem di pinggir jalan yang sedang memasak kue-kue dagangannya. Dihampirinya perempuan tua itu.

“Hai, ibu, bersediakah engkau kujadikan ibu angkat?” kata Abu Nawas.

“Kenapa engkau berkata demikian?” tanya si Ibu tua itu. “Apa alasannya?”

Maka diceritakanlah perihal dirinya yang mendapat perintah dari Sultan agar membawa ibunya ke istana. Padahal ibunya sudah meninggal. Juga dijanjikan akan membagi dua hadiah dari Sultan yang akan diterimanya. “Uang itu dapat ibu simpan untuk bekal meninggal bila sewaktu-waktu dipanggil Tuhan,” kata Abu Nawas.

“Baiklah kata si Ibu tua itu, aku sanggup memenuhi permintaanmu itu.”

Setelah itu Abu Nawas menyerahkan sebuah tasbih dengan pesan agar terus menghitung biji tasbih itu meskipun di depan Sultan, dan jangan menjawab pertanyaan yang diajukan. Sebelum meninggalkan perempuan itu, Abu Nawas wanti-wanti agar rencana ini tidak sampai gagal. Untuk itu ia akan menggendong perempuan tua itu ke istana.

“Baiklah anakku, moga-moga Tuhan memberkatimu,” Kata si ibu tua.

“Dan terutama kepada Ibuku…”

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah sampai di istana lalu memberikan salam kepada Sultan.

“Waalaikumsalam, Abu Nawas,” jawab Sultan. Setelah itu Sultan memandang Abu Nawas. Bukan main terkejutnya Sultan melihat Abu Nawas menggendong seorang perempuan tua. “Siapa yang kamu gendong itu?” tanya Sultan. “Diakah ibumu?” tapi kenapa siang begini kamu baru sampai?”

“Benar, tuanku, inilah ibu hamba, beliau sudah tua dan kakinya lemah dan tidak mampu berjalan kemari, padahal rumahnya sangat jauh. Itu sebabnya hamba gendong ibu kemari,” kata Abu Nawas sambil mendudukkan ibu tua di hadapan Sultan.

Setelah duduk ibu tua itu pun memegang tasbih dan segera menghitung biji tasbih tanpa henti meski Sultan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Tentu saja Sultan tersinggung, “Ibumu sangat tidak sopan, lagi pula apa yang dikatakannya itu sampai tidak mau berhenti?”

Sembah Abu Nawas, “Ya tuanku Syah Alam, suami ibu hamba ini 99 banyaknya. Beliau sengaja menghafal nama-nama mereka satu persatu, dan tidak akan berhenti sebelum selesai semuanya.”

Demi mendengar ucapan Abu Nawas tadi perempuan tua itu pun melempar tasbih dan bersembah datang kepada Sultan. “Ya tuanku Syah Alam,” katanya, “Adapun hamba ini dari muda sampai tua begini hanya seorang suami hamba. Apabila sekarang ini berada di hadapan tuanku, itu adalah atas permintaan Abu Nawas. Dia berpesan agar hamba menghitung-hitung biji tasbih dan tidak menjawab pertanyaan tuanku. Nanti Abu Nawas akan membagi dua hadiah yang akan diterimanya dari tuanku.”

Begitu mendengar ucapan perempuan tua itu Sultan tertawa dan menyuruh memukul Abu Nawas seratus kali. Ketika perintah itu akan dilaksanakan, Abu Nawas minta izin untuk dipertemukan dengan Sultan. “Ya tuanku, hukuman apakah yang akan tuanku jatuhkan kepada hamba ini?”

“Karena engkau berjanji kepadaku akan membawa ibumu kemari, akupun berjanji akan memberi hadiah uang seratus dirham, tapi karena kamu tidak bisa memenuhi janjimu, dapatlah engkau seratus kali pukulanku,” kata Sultan.

“Ya tuanku, Syah Alam,” kata Abu Nawas, “hamba berjanji dengan perempuan tua ini akan membagi dua hadiah yang akan tuanku berikan kepada hamba, tetapi karena sekarang hamba mendapat dera, hadiah itu juga harus dibagi dua, karena yang bersalah dua orang, hamba terimalah hukuman itu, tetapi lima puluh seorang dengan perempuan tua ini.”

Dalam hati Sultan bergumam, “Jangankan dipukul lima puluh kali, dipukul sekali saja perempuan tua ini tidak akan mampu berdiri.” Setelah itu Sultan memberi lima puluh dirham kepada perempuan tua itu sambil berpesan agar tidak cepat percaya kepada Abu Nawas bila lain kali menemuinya. Dengan suka cita diterimanya hadiah itu dan dipandangnya Abu Nawas.

“Ya tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, jika ibuku telah mendapat anugerah dari paduka, tidak adil kiranya bila anaknya ini dilupakan begitu saja.”

“Hmm…ya, terimalah pula bagianmu,” ujar baginda sambil tersenyum, “Ini…”

Semua orang tertawa dalam hati. Setelah Abu Nawas bermohon diri pulang ke rumah. Demikian pula perempuan tua itu dan semua yang hadir di Balairung, dengan perasaan masing-masing.
readmore »»  

Saturday, October 3, 2015

Abunawas dan Pesta Yahudi


Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga suasananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masuk, ada yang main kecapi, ada yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.

Dan ketika para tamu sudah pada kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan, dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dini hari.

Di jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas, “Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar aja. Minumnya seperti binatang. Kelakuan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlangsung di Baghdad. Tapi apa dayaku hendak melarangnya? Ah, ada satu akal.”

Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid di Istana. “Tuanku, ternyata di negeri tuan ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh.”

“Di mana tempatnya?", tanya baginda Khalifah.

“Di tepi Hutan sana.” “Mari kita lihat,” ajak Baginda. “baik, Kata Abu Nawas. “Nanti malam kita pergi berdua saja, dan tuanku memakai pakaian santri.”

“Tapi ingat.” Kata Baginda, “Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi.”

Setelah shalat Isya, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu di temani Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik bersama teman-temannya, maka baginda pun dipersilahkan duduk. Ketika diminta menari, baginda menolak, sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kiri-kanan.

Sampai disitu Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas. Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Setelah itu barulah di edarkan kopi kepada semua tamu, melihat hal itu Abu Nawas keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing, padahal ia langsung pulang.

“Biar baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para menteri, “Pikir Abu Nawas.”

Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda di tampar oleh Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja, kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang: menghirup sambil ketawa-ketawa.

“Apa boleh buat,” pikir baginda, “Aku seorang diri, dan tak mungkin melawan Yahudi sebanyak itu.” Larut malam Baginda pulang ke Istana berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol. Ia merasa dipermainkan oleh Abu Nawas, dan dipermalukan didepan orang banyak. “Alangkah kasihan diriku,” gumamnya.

Pagi harinya, begitu bangun tidur, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan seorang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi, terima kasih kamu masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri, sementara aku dipermalukan seperti itu,” kata Baginda.

“Mohon ampun, ya Baginda,” jawab Abu Nawas. “Malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan yang sama seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa baginda kesana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh seperti itu.”
Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberapa pengawal memanggil si Yahudi.

“Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam,” baginda bertanya dengan sengit. “darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?”

“Ya tuanku Syah Alam …” jawab si Yahudi. “sesungguhnya hamba tidak tahu akan Duli Syah Alam, jika sekiranya hamba tahu, masa hamba berbuat seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya.”

“Sekarang terimalah pembalasanku,” kata Baginda. Yahudi itu dimasukkan kedalam penjara. Dan sejak itu di haramkan orang bermain serta minum seperti binatang. Mereka yang melanggar larangan itu di hukum berat.
readmore »»